Halo, namaku Bella Sintia. Aku hanya seorang gadis desa yang memiliki impian bisa kuliah di luar kota demi mewujudkan cita-cita. Orang tuaku bukan seorang PNS, TNI ataupun guru melainkan hanya seorang pedagang kaki lima di Jakarta dan seorang ibu rumah tangga. Tapi bagiku, mereka adalah motivator terbaikku dan aku bangga memiliki keduanya.
Kisahku bermula saat aku duduk di kelas 12 SMA. Saat itu, banyak sekali rombongan kakak mahasiswa yang bersosialisasi ke sekolah. “Kalau kamu kuliah, kamu bisa punya relasi dan wawasan berpikir yang luas. Selain itu, orang tuamu pasti bangga jika anaknya sukses. Ingat-ingat pesanku, jangan mau jadi sampah masyarakat!”, ujar salah satu mahasiswa. Sejak saat itu, aku jadi termotivasi untuk melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan.
Keinginanku ini, aku bicarakan kepada kedua orang tuaku.”Yah, Bu, boleh tidak kalau setelah lulus sekolah Bella lanjut berkuliah?”, ucapku sedikit ragu. Mendengar hal itu, ibuku kaget dan langsung berkata “Untuk apa kuliah? Sudahlah, kamu kerja saja. Ikut bersama saudaramu di kota. Lagi pula, kita tidak punya biayanya nak!”, timpal ibu. “Wah, Bella mau kuliah? Baiklah, ayah akan usahakan. Sekarang terserah Bella mau ambil jurusan apa dan di kota mana, yang penting cita-cita Bella tercapai. Jadi, dari sekarang kamu harus belajar lebih giat lagi ya!”, sahut ayah sambil tersenyum ikhlas. Mendengar hal itu, hatiku sangat gembira karena sudah mendapatkan izin. Meskipun ibuku belum menyetujuinya, aku meyakinkannya dengan mengatakan “Insya Allah Bella akan berusaha mendapatkan beasiswa supaya bisa berkuliah tanpa mengeluarkan biaya”.
Tiba saatnya SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) melalui jalur rapot dibuka. Ketika hari pengumuman SNMPTN tiba, hatiku berdebar sangat kencang. Mual, pusing, keringat dingin, gemetar, dan cemas adalah gambaranku siang itu. Tidak ada warna lain yang diharapkan selain warna hijau dengan tulisan ‘SELAMAT’. Hingga akhirnya, saat aku membuka link SNMPTN, muncul satu warna yang dominan yakni hijau dengan tulisan ‘SELAMAT ANDA DITERIMA DI UIN WALISONGO SEMARANG JURUSAN GIZI’.
Entah bagaimana caranya menggambarkan rasa senangku kala itu, rasanya dunia ini milik sendiri. Dengan perasaan yang masih belum percaya, akhirnya aku langsung memberitahukan hasil seleksinya kepada orang tuaku dan merekapun menangis haru sambilberkata, “selamat nak!”. Air mataku pecah. Tak menyangka, jerih payahku selama 3 tahun di SMA membuahkan hasil.
Mendengar anaknya yang lulus di perguruan tinggi negeri, ayahku semakin bekerja lebih keras lagi. Tidak peduli siang atau malam, panas atau hujan, sepi atau ramai, sehat atau sakit, yang ada dibenaknya hanyalah ia harus bisa menyekolahkan putrinya hingga ke perguruan tinggi. Aku sebenarnya tidak tega melihat kondisi ayah yang bekerja banting tulang tiada henti. Maka dari itu, dari awal semester aku sangat bertekad untuk mencari informasi mengenai beasiswa KIP-K (Kartu Indonesia Pintar-Kuliah). Sebelum ada informasi beasiswa ini, orang tuaku sempat menjual sawahnya untuk digunakan membayar biaya semester. Sakit hati ini jika mengingat pengorbanan orang tua. Rasanya, aku hanya menjadi beban keluarga saja. Namun, aku tidak menyerah dengan keadaan. Hingga akhirnya informasi beasiswa KIP-K ini muncul.
Tahap demi tahap aku ikuti dengan hati-hati terutama saat seleksi tertulis. Seleksi ini amat menegangkan bagiku karena soal yang diujikan cukup beragam dengan waktu terbatas. Harap dan doa tak henti-hentinya terpanjat sebelum pelulusan beasiswa KIP-K diumumkan. Kala itu, senja pukul 17.00 WIB jadi saksi bisu betapa bahagianya aku dan keluargaku karena di pengumuman tersebut aku dinyatakan mendapatkan beasiswa. Ucapan syukur mendominasi mulut, linangan air mata membasahi pipi, dan pelukan dari kedua orang tua terasa hangat ditubuhku. Hatiku sangat lega karena akhirnya aku bisa berkuliah tanpa harus pusing memikirkan biaya. Hari demi hari, tugas demi tugas aku kerjakan dengan sepenuh hati hingga akhirnya aku mendapatkan nilai bagus di akhir semester satu.
Pandemi covid-19 yang menjadi momok mengerikan bagi negeri ini mempengaruhi kondisi perekonomian warga negara khusunya keluargaku. Ayahku yang mata pencahariannya sebagai pedagang kaki lima harus rela lapaknya tutup secara tiba-tiba karena Satpol PP kerap berpatroli. Bahkan tak jarang, ayahku juga membuang makanan dagangannya yang masih banyak karena jarang ada pembeli akibat PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di ibu kota. Kondisi ini berlangsung beberapa bulan. Ayahku merasa bersalah karena dia tidak bisa memberikan nafkah yang layak kepada keluarganya di kampung. Sebagai seorang anak, aku hanya bisa berdoa supaya wabah ini cepat mereda, keluargaku dijauhkan dari marabahaya, dan dilancarkan rezekinya.
Suatu hari, ada informasi yang menyatakan bahwa mahasiswa penerima beasiswa diharuskan membuat buku tabungan di Bank dekat kampus. Sontak kaget menerima kabartersebut, akhirnya aku memberitahukan hal ini kepada kedua orang tuaku. Awalnya aku niat berangkat sendirian ke Semarang. Namun, naluri orang tua takkan tega melihat putri semata wayangnya berangkat ke kota yang bahkan belum pernah dipijakinya sama sekali. Dengan tegasnya, ayahku berkata ditelepon “Sudah nak. Tunggu ayah pulang dulu dari Jakarta. Baru setelah itu, kita berangkat berdua kesana mengendarai bus kota”. Sepulangnya ayah dari Jakarta, ayahku nampak seperti orang yang sedang sakit. Melihat kondisinya yang seperti ini, aku sungguh tidak tega jika ia harus mengantarku ke Semarang. Namun, ia tetap bersikukuh mengantarku pergi kesana. “Jauh! Mana tega ayah melihat kamu berangkat sendirian”. Mendengar hal itu, aku sangat bersyukur memiliki ayah yang amat baik dan perhatian seperti
dia.
Selesainya urusan beasiswaku di Bank, aku begitu antusias untuk mengunjungi kampusku. Ya!! Kampus impian, kampus hijau. Aku senang sekali bisa mengelilingi kampus 1, 2, dan 3 dengan berjalan kaki. Ayahku sempat berfoto di depan gedung FPK (Fakultas Psikologi dan Kesehatan), “Lumayan, untuk kenang-kenangan”, ucapnya. Perjalanan pulang dengan suasana malam yang dingin dan rintikan hujan menemani perjalanan kami kala itu. Setelah enam jam, akhirnya kami sampai di rumah dengan selamat.
Kesehatan ayah sepulang dari Semarang kurasa agak memburuk. Akhirnya, ibuku menyuruhnya untuk istirahat dan tidak usah berangkat ke Jakarta dulu. Namun, ayahku berkata “kalau ayah tidak bekerja, lalu kita akan makan apa?”, ucapnya pelan. Dengan niat mencari nafkah, besoknya ayahku memutuskan untuk pergi merantau lagi ke Jakarta. Beberapa hari di Jakarta, tiada kabar darinya. Aku dan ibuku di kampung cemas memikirkan ayah. Tiba-tiba satu malam, terdengar suara pintu ‘Tokk-tokk-tokk’ ibuku langsung membukakan pintu dan yang dilihatnya adalah suaminya dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Tanpa berkata apapun, ibuku langsung membawanya masuk dan menyelimutinya.
Keesokan harinya, kondisi ayahku semakin memburuk. Hasil diagnosa dokter menyatakan bahwa ayahku terkena tifus yang sangat parah karena sudah menjalar ke saraf otak. Aku dan ibuku terus-terusan menangis. Menyesali mengapa dahulu tak melarang ayah berangkat ke Jakarta. Satu minggu sudah ayahku dirawat di Rumah Sakit. Bak pertanda, dokter pun berkata “Sudah bu, sekarang pulang saja. Kalau kondisi bapaknya kian hari kian memburuk. Saya juga tidak bisa melakukan apapun. Saya pasrah. Kasihan jika terus-terusan di sini, dikhawatirkan biayanya semakin membengkak”. Mendengar hal itu, ibuku langsung menangis dan memutuskan untuk membawanya pulang.
Tiga hari setelah kepulangannya dari Rumah Sakit, ayahku menghembuskan nafas terakhirnya. Cucuran air mata membasahi wajah, isak tangis kami sekeluarga seolah menggema terus-terusan di telinga. Duniaku seakan-akan hancur melihat pahlawan yang ku sayang tiba-tiba tiada.
Penyesalan masih terbesit dalam hati kecilku meskipun kepergiannya sudah terhitung satu minggu. Sebuah catatan kecil sengaja aku buat untuk mengenangnya.
“Untuk ayah, dari putri kecilmu
Yah, aku tahu aku bukan putri yang sempurna bagimu. Aku hanyalah putri kecilmu yang dulu sering kau gendong keliling kampung dan kini sudah menjadi remaja yang sehat dan aktif. Kau ajarkan aku banyak hal. Kau berikanku duniamu. Kau penuhi semua keinginanku. Impianku melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahanpun kau penuhi. Terima kasih sudah mengajarkan arti kuat, sabar, perjuangan, berani, dan optimis kepadaku. Terima kasih sudah menjadi pahlawan terbaikku. Terima kasih sudah mau mengantarkanku menjumpai kampusku. Yah, beribu kata maaf belum sempat aku ucapkan. Maaf, jika putrimu ini seringkali membebanimu. Maaf, jika putrimu ini seringkali merepotkanmu. Dan maaf, jika putrimu ini seringkali menyakitimu. Yah, semoga kebaikanmu dibalas oleh Sang Maha Cipta. Kini, ku ikhlaskan engkau kembali pada-Nya. Beribu doa ‘kan selalu terpanjat untukmu dari aku, putri kecilmu. Aku sayang ayah”
Seorang teman berkata kepadaku, “semakin kamu menangisi kepergian ayahmu, maka semakin tidak tenang ayahmu meninggalkanmu”. Mendengar ucapan tersebut, pikiranku mulai terbuka kembali. Mungkin wajar bila aku merasakan sedih yang amat mendalam. Namun, aku juga harus mengendalikan pikiranku karena hidup akan terus berjalan. Untuk membahagiakan ayahku di sana, aku harus bisa bangkit dari keterpurukanku. Aku harus bisa melanjutkan cita-citaku. Akhirnya aku bertekad untuk belajar lebih giat lagi supaya beasiswa yang aku miliki tetap berlanjut. Beasiswa KIP-K sangat membantuku dalam menjalani perkuliahan. Minggu demi minggu aku lewati hingga akhirnya tiba di penghujung semester. Saat membuka hasil semester, ternyata aku mendapatkan nilai yang didominasi oleh huruf ‘A’, nilaiku hampir sempurna. Oh Tuhan, Aku bangga kepada diriku sendiri, ternyata aku bisa melewati masa-masa sulit ini. Sambil melihat nilai di layar HP, aku teringat perkataanku dulu bahwa aku akan lebih giat lagi belajar, hatiku berkata “ini hadiah untukmu yah”, ucapku sambil tersenyum mengenangnya.
Teruslah berjuang meraih cita2mu
BalasHapusSemangat La😍
BalasHapusBella ihhh nangis kejer woii
BalasHapusSemangat bella
BalasHapusNgucur ci panon, smangt tth bela..
BalasHapusSemangat terus bel.
BalasHapus