• Belenggu Darah Biru

     

    ilustrasi: cekaja.com

    “Takdir telah digaris. Sang putri bak boneka yang senantiasa mengikuti tuntutan empunya, ikatan darah bangsawan yang membelenggu” -Cahaya Indahsari Pramudipta-

    “Selalu ada jalan di setiap permasalahan, lingkupi hati dengan ayat-ayat suci sebagai pedoman bukan manusia lain yang menentukan arah hidupmu” -Aska Daniam-

     

    Sudah tak terhitung berapa kali aku menguap hingga mataku berair mendengar penuturan nenek tentang bagaimana semestinya seorang perempuan bermartabat dalam berperilaku, bertutur kata, dan berbusana. Rasanya telingaku berdengung karena ocehan nenek yang terus diulang-ulang dengan topik yang sama. Terlahir sebagai keturunan darah biru membuatku terkurung dalam aturan-aturan kebangsawanan yang kuno dan kaku. Banyak sekali hal-hal tidak wajar yang harus dilakukan atau ditinggalkan agar tidak menodai harga diri keluarga besar darah biruku.

    Seperti apa yang di perintahkan oma padaku sekarang untuk berlatih menari sebagai persembahan pada hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus nanti. Kata oma, setiap gadis keturunan darah biru diharuskan mahir dalam meliuk-liukkan badan melalui media tari sebagai simbol bahwa gadis tersebut telah dewasa dan menjadi sosok yang anggun dan lembut. Sebenarnya aku ingin protes tetapi oma langsung memelototiku.

    “Cahaya Indahsari Pramudipta,” ucapnya tegas dengan memanggil nama panjangku menandakan keputusannya sudah bulat tanpa ada sanggahan.

    Aku mengangguk lesu sebagai jawaban walau hatiku terasa berat.

    Oma tersenyum penuh kemenangan lalu pergi sesaat sebelum ia menyentil dahiku pelan sambil berkata,dasar bocah nakal.”

    Setelah kepergian oma, aku menatap mama meminta belas kasihannya agar membujuk oma. Namun mama hanya mengedikkan bahu acuh kemudian tertawa keras meninggalkan aku yang terkulai sedih, tega sekali mama.

    Disaat seperti ini, hanya satu orang yang mengerti perasaanku, menenangkanku, dan mendengarkan setiap keluh kesahku. Aku akan bersandar pada bahu tegapnya kemudian tangan besarnya mengusap lembut kepalaku seperti biasa. Dia tak akan bertanya kenapa sebelum aku sendiri yang berbicara. Tak butuh waktu lama untuk menemukan sosoknya di tempat biasa ia menghabiskan waktu panjangnya.

    “Tolong benerin kipas angin saya, Bang,” aku menggodanya ketika ia tengah sibuk menyambungkan kabel-kabel pada televisi rusak.

    Kegiatannya terhenti, ia berdiri dan memutar tubuhnya lalu tersenyum kaku menatapku. Tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya, ia melangkah menuju sofa usang di sudut gudang. Setelah duduk, tangannya menepuk tempat kosong di sampingnya memberi isyarat. Semesta pun tahu aku belum mengatakan apapun tapi kakak istimewaku itu mengerti aku sedang membutuhkan dia walau dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Cukup lama aku terpejam menerima setiap belaian di kepalaku.

    “Aya diam terus, Mas Langit pergi ya.”

    Aku mendongak memandang wajah imut mas Langit yang tengah cemberut, tak akan kubiarkan ia pergi, “mengapa Oma selalu memaksa kehendak Aya? Mengapa Oma selalu mengatur Aya melakukan sesuatu yang tidak Aya sukai? Mengapa Oma egois, Mas Langit? Apakah seorang keturunan darah biru harus hidup dalam peraturan dan batasan?” aku tidak bisa menahan air mataku. “Seperti burung dalam sangkar emas, Aya ingin membenci oma tapi tidak bisa.”

    Pantaskah aku marah dengan oma padahal ia selalu baik dan hangat kepadaku melebihi mama yang selalu mementingkan pekerjaannya. Masih membekas dalam hatiku bagaimana sabarnya oma merawat dan mendidikku sejak aku masih balita karena mama harus menjadi tulang punggung keluarga menggantikan papa yang sudah tenang di alam sana.

    “Satu hal untuk menghadapi semuanya, Aya harus bersabar seperti Mas Langit,” ujar mas Langit terbata-bata, jari-jarinya saling bertautan gugup.

    Aku menerawang pada kejadian satu tahun yang lalu ketika emosi dan air mata menyelimuti rumah joglo ini. Masih teringat jelas betapa murkanya sang tuan rumah mendengar pengakuan cucu laki-lakinya yang mencintai mbak Diandra, seorang janda satu anak. Mbak Diandra dan putri kecilnya sering berkunjung menemui mas Langit membuat rasa sayang tumbuh di hati mas Langit. Aku juga dapat melihat mbak Diandra memiliki perasaan yang sama terhadap mas Langit dan tulus menerima cacat mental dalam diri mas Langit.

    Ketika itu aku tersentak mendengar kerasnya suara oma di depan mas Langit dan mbak Diandra yang ketakutan, “kamu ingin melamar janda itu Langit?! Dengar cah bagus, dia itu wanita tidak bermoral sampai-sampai suaminya meninggalkan dia tanpa perceraian. Dia tidak sebanding dengan darah biru kita dan sampai maut memanggil pun, Oma tidak akan pernah merestuimu dengan dia!”

    Bak ujung pisau menancap di ulu hati, mas Langit seketika meracau tidak jelas, berkali-kali mengucapkan kalimat yang sama dengan gusar, “nenek jahat, Langit tidak suka,” tubuhnya tidak berhenti bergerak hingga menabrak sebuah guci hiasan besar di dekat tangga sampai pecah. Aku berusaha menenangkan mas Langit yang mengamuk melempar barang-barang di sekitarnya, sedangkan mbak Diandra menangis di tempatnya. Oma terlihat tidak peduli pada kekacauan yang disebabkan mas Langit hingga akhirnya mas Langit pingsan.

    Kejadian itu menimbulkan rasa trauma yang dalam terhadap mas Langit ditambah lagi dengan kepindahan mbak Diandra yang entah kemana. Sejak saat itu oma tidak lagi mengizinkan orang luar bertemu dengan mas Langit, bagi nenek mas Langit adalah aib keluarga yang harus ditutupi agar tidak mencemari keluarga bangsawan ini. Memori kelam itu yang membuat mas Langit lebih dewasa saat menghadapi oma. Beban di pundakku terasa ringan setelah berbagi cerita dengan kakak tampanku itu.

    ***

    Malam ini pertama kalinya aku berlatih menari di sanggar tari. Gara-gara gerakanku yang salah terus membuat pelatih tari memarahiku, dipaksa pun tetap saja aku tidak bisa. Kata oma, aku akan menjadi ratu sebagai maskot dalam perayaan kemerdekaan nantinya sehingga aku harus menguasai tarian ini. Rasanya tidak adil melihat gadis lain lebih luwes dan mahir menari tetapi justru aku yang kaku dijadikan ratu hanya karena kedudukan keluarga darah biru oma lebih tinggi dari mereka. Kulirik jam dinding bulat yang menggantung di sisi kiri sanggar menunjukkan tepat pukul sepuluh dan latihan ini belum juga selesai. Berbagai umpatan hampir keluar dari mulutku jika saja seseorang tidak menepuk pundakku dari belakang.

    Seorang laki-laki tinggi berpakaian layaknya seorang raden dari kerajaan besar menyapaku ramah. Aku menyambut uluran tangannya dan menyebutkan nama singkatku setelah dia terlebih dahulu melafalkan nama panjangnya, sangat panjang, Sukrisno Adipati Dewangga Ayodyaningrat. Sebenarnya parasnya cukup tampan namun matanya yang berkedip-kedip genit membuatku bergidik ngeri. Oma beserta seorang perempuan seusia mama menghampiri kami, bukan kami tapi aku dan mas mas genit di depanku, aku tak sudi menyematkan kata ganti kami untuk aku dan orang sepertinya.

    “Nak Krisno sudah mengenal cucu saya bukan?” tanya oma lembut pada pria genit itu yang dijawab anggukan pelan sambil menatap kearahku, aku sangat risih dipandangi oleh mata jelalatannya. Aku melotot mendengar ucapan oma selanjutnya, “kalian memang terlihat sangat cocok, sebagai pasangan tari maupun pasangan hidup.”

    Apa-apaan oma ini, selain cukup terkejut dengan Krisno sebagai pasangan peranku dalam tari aku juga terkejut dengan ucapan oma yang terakhir, ia berusaha menjodohkanku eh? Seakan tak membiarkanku untuk protes, oma malah terlibat perbincangan seru dengan ibunya Krisno, jadi perempuan paruh baya itu adalah ibu dari Krisno kemudian meninggalkanku berdua dengan si pria genit ini. Sebelum Krisno bersuara aku berlari menjauh darinya kemanapun asal tidak melihat wajah genitnya itu.

    Sudah dua minggu aku berlatih menari dan Krisno semakin gencar mendekatiku ditambah lagi gerakan tariku dengannya begitu intens dan mesra membuatnya semakin sering bersentuhan denganku. Apalagi oma dan ibunya yang juga menjodohkan kami berdua bahkan berniat menikahkan kami, astaga oma aku tidak mau.

    Hari ini adalah hari terakhir latihan kemudian selanjutnya gladi bersih sehari sebelum tanggal 17 Agustus. Oma sudah berangkat ke sanggar terlebih dahulu karena lelah menungguku mandi yang sengaja kubuat lama sekali. Aku memang tidak berniat ke sanggar hari ini disamping karena aku bosan latihan terus menerus, pagi ini aku juga ingin mendengar suara indah nan merdu alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an milik teman tersayangku di Masjid tempatnya menjadi marbot. Namanya Aska Daniam, pemuda sholeh penghafal Al-Qur’an, teman kampusku sekaligus guru agamaku.

    Bermula dari kekagumanku pada rajinnya ia beribadah dan ingatannya dalam menghafal Al-Qur’an, aku memintanya untuk mengajariku tentang agama Islam yang lebih mendalam, dan ia bersedia. Ketika ada waktu senggang dan saat aku sedang tidak malas, maka aku akan mencarinya kemudian memintanya mengajariku tentang apa saja yang berkaitan dengan agama Islam. Lama-kelamaan aku nyaman dengannya yang begitu sabar mengajariku hingga muncul perasaan aneh di hatiku. Jantungku berdetak lebih cepat saat menatap matanya dan rasa menggelikan di perutku seperti ada kupu-kupu yang beterbangan, waktu terasa lebih cepat ketika bersamanya.

    Aku merasa mulai ada rasa yang disebut cinta tumbuh di hatiku. Rasanya aku telah menemukan pemilik tulang rusukku, dia Aska Daniam yang kini tengah melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan begitu indah tepat dihadapanku. Duduk bersila dengan mata yang terpejam serta tangan kokohnya memegang mikrofon dengan mantap dan mulutnya yang terbuka tertutup mengeja setiap huruf dalam Al-quran yang suci itu. Semuanya tak luput dari penglihatan mataku, sangat indah dan menakjubkan. Dan ketika ia membuka kelopak matanya yang langsung bertemu dengan mataku, dunia berhenti. Aku hanyut dalam bola matanya yang secerah bulan purnama. Aska tersenyum, berdiri menghampiriku mengucapakan salam sembari menangkupkan kedua tangannya didepan dada.

    Setelah mendapat jawaban salam dariku, lantas ia mengambil sesuatu seperti selendang lalu memakaikannya di kepalaku, ternyata itu sebuah jilbab. “Tutuplah aurat ketika memasuki rumah Allah,” ucapnya masih membenarkan kerudung di kepalaku, aku mengangguk-angguk seperti anak kecil, ah rasanya sangat senang mendapat perhatian kecil dari temanku ini.

    Aku merapikan kembali kerudungku yang sedikit melorot  saat Aska meletakkan meja rendah sebagai pembatas kami berdua, “beberapa hari ini kamu jarang terlihat, apa yang sedang kamu kerjakan?”

    Aku tersenyum mendengar pertanyaan dari Aska, apa ia sedang merindukanku, manisnya, “hanya berlatih menari untuk acara 17 Agustus yang akan datang. Sebenarnya malas tetapi jika aku tidak mengikutinya, oma akan mengamuk dan membuangku.”

    Aska tertawa aku pun ikut tertawa.

    Cukup lama kami tertawa bersama sampai ia berdehem namun tak menjawab atau menegur ucapanku, ia memang sangat tahu bagaimana watakku yang suka membicarakan oma dibelakang, dan itu pula yang membuatku semakin suka padanya. Obrolan-obrolan ringan mengalir diantara kami hingga tak menyadari hari beranjak sore, saking nyamannya aku sampai lupa waktu. Sekedar informasi kalau aku tidak hanya berdua dengan Aska namun ada temannya bernama Toni yang sedari tadi ikut berbincang sehingga tidak akan terjadi fitnah jika hanya aku dan Aska saja yang berduaan di dalam masjid.

    Aku ingin berpamitan untuk pulang pada Aska dan Toni namun sebelum sempat  beranjak seseorang telah membanting pintu dari luar masjid. Aku terkejut mendapati oma memasuki masjid dengan wajah merah padam disusul dengan mama dan mas Langit. Oma berdiri menjulang di hadapanku menarik kasar tanganku untuk ikut berdiri menghadapnya. Kemarahan tercetak jelas di wajah nenek yang mulai keriput. Kutundukkan kepalaku siap mendengar apa saja yang akan terlontar dari bibir ibu dari mama itu.

    “Apa yang kamu lakukan disini, Aya!” suara oma memang rendah tetapi terdengar penuh penekanan di setiap katanya. Jemari oma mengangkat daguku lebih tepatnya mencengkram agar aku menatap bola matanya yang berkilat tajam, dengan hormat aku membalas tatapannya dengan mata teduhku berharap meredakan emosinya walau itu akan sia-sia. Oma menunjuk wajahku seraya berkata dengan pelan namun tajam, “pulang Cahaya dan jangan pernah ke tempat ini lagi, mengerti?!”

    Aku tersenyum dan menggenggam jari telunjuk oma, “Aya merasa damai disini, Oma, hati dan jiwa Aya amat tentram seolah masalah Aya menguap dengan sendirinya. Ketika tubuh Aya bergerak melaksanakan sholat atau ketika telinga Aya mendengar ayat-ayat indah Al-Qur’an, saat itulah Aya merasa hidup dengan sempurna.” Aku menerawang merasakan hembusan angin yang membelai pelan wajahku lalu melanjutkan ucapanku, “Aya akan pulang, tetapi akan kembali kesini lagi,” ujarku mantap.

    Aku merasa emosi oma bertambah bahkan dadanya sampai naik turun dan giginya bergemeletuk, “jangan jadi anak durhaka kamu Aya! Berani sekali kamu menceramahi oma huh!” teriakan oma menggema di setiap sudut Masjid.

    Aku kembali menunduk tak berani menatap matanya yang melotot. “Aya hanya membela diri Aya sendiri, apa itu salah?” nada suaraku meninggi tak tahan dengan sikap oma yang selalu mengintimidasiku dan memaksa menuruti keinginannya.

    Semua berjalan dengan cepat ketika tangan oma terangkat menampar keras pipiku sampai aku terhempas ke samping diikuti makian oma yang semakin menampar ulu hatiku, “dasar cucu tidak tau diri!” bentaknya.

    Aku mendengar mama menjerit sesaat sebelum aku pergi meninggalkan orang-orang di masjid itu dengan membawa kesedihan dan kesakitan, bukan sakit di pipiku namun sakit di hatiku. Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan tinggi menyalip tanpa teratur serta menerobos lampu merah dengan ugal-ugalan. Ternyata sedari tadi mobil oma mengikutiku dari belakang mencoba mensejajarkan dengan mobilku.

    “Aya berhenti, jangan kebut-kebutan!” teriak oma dari kaca mobilnya yang terbuka, nampak mas Langit yang juga duduk di samping kemudi.

    “Mas Langit gak suka Aya cepet-cepet naik mobilnya,” gumam mas Langit yang masih sempat ku dengar.

    Aku tak menghiraukan perkataan oma dan mas Langit dan menambah kecepatan mobilku begitupun oma menambah laju mobilnya padahal posisinya pada jalur yang salah sehingga saat ada truk besar dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan tinggi pula tak bisa dihindari oleh mobil oma, alhasil terjadi kecelakaan antara truk dan mobil oma hingga menimbulkan bunyi berdebum yang sangat keras lalu mobil oma yang berguling-guling, meledak dan berakhir terbakar habis. Aku tersentak melihat semua itu, oma dan mas Langit masih ada di dalam mobil yang terbakar itu.

    Segera aku berlari menghampiri mobil itu namun warga sekitar mencegahku, “Oma! Mas Langit!” teriakku histeris.

    Orang-orang berlalu-lalang mencoba memadamkan api di mobil oma kemudian membawa dua tubuh yang sudah terbakar ke dalam ambulans. aku menganga terkejut melihat tubuh oma dan mas Langit yang hangus dan jantungnya, jantungnya tidak berdetak. Jeritan keras keluar dari mulutku, ku peluk tubuh oma dan mas Langit bergantian berharap masih ada kehidupan, namun itu sia-sia karena mereka telah tiada.

    ***

    Di istana negara, alunan musik sendu mengalun mengiringi tarian gadis-gadis cantik yang tengah menggerakkan badan mereka dengan luwes dan gemulai. Di barisan paling depan dengan kursi khusus, aku dapat dengan jelas melihat gadis-gadis itu di atas panggung. Aku tersenyum saat tarian selesai, riuh tepuk tangan memenuhi ruangan ini. Kurapikan kemejaku yang agak kusut sebelum berdiri menyambut pelukan demi pelukan oleh gadis-gadis penari di hadapanku,

    “Terimakasih Kak Aya telah sabar melatih kami menari dengan sangat indah,” ujar salah seorang gadis bernama Lusi.

    Aku tersenyum bangga, “kalian sangat hebat,” balasku tulus.

    Disaat yang bersamaan, seorang pria berjas rapi naik ke atas panggung mengucapkan beberapa sambutan lalu memberikan sebuah penghargaan kepadaku sebagai pelatih tari nasional, pria itu membetulkan letak kacamatanya kemudian berkata, “selamat Cahaya Indahsari Pramudipta, sukses selalu sayang,” bisiknya lembut di telingaku, menggemaskan sekali.

    Aku tersenyum lebar menampilkan deretan gigiku dan membalas bisikannya, “terimakasih bapak Aska Daniam yang jago gombal,” kami tertawa bersama tanpa peduli orang-orang yang menatap aneh kearah kami.

    Hatiku bersuara, “maaf dan terimakasih Oma, Mas Langit.”

    Profil Penulis: Orang-orang biasa memanggilku Anis, sebab nama panjangku Anis Maemunah. Sejak kecil aku tinggal bersama keluargaku di Siwatu, Wonotunggal, Batang dan aku lahir pada 24 April 2001. Sama seperti manusia pada umumnya, aku bersekolah hingga kini memasuki jenjang kuliah di UIN Walisongo Semarang jurusan PBA. Aku suka menulis, mengarang dan berfikir.


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.