• ORANG RUMAH

      

    Ilustrasi: www.twitter.com


    ORANG RUMAH

    Oleh: Alifa Maulidya

    Kalau saja tidak ada suara keributan dari luar kamarku, aku tidak akan repot-repot membuka pintu demi mencari tahu apa yang terjadi.

    Anjuran di rumah saja yang dikeluarkan pemerintah beberapa waktu lalu membuatku yang tadinya lebih suka di rumah menjadi berkali-kali lipat suka di rumah. Terutama kamarku. Fasilitas yang mendukung seperti kamar mandi hingga kulkas kecil sudah berada di sana sejak pertama kali rumah ini dibangun. Aku memang sengaja meminta orangtuaku mendesain seperti itu.

    Tapi terlepas dari segala kemewahan di dalam kamarku, ini masih jam empat pagi dan rumahku sudah ribut sekali!

    “Denis, semaleman lo kemana aja?” tiba-tiba Dira—kakak ketigaku sudah menunjukku frustasi sambil sesekali memegang dagunya. Khas dia ketika sedang merasa bingung dan panik.

    “Lo tanya Denis?” Disa, kakak keduaku—sekaligus kembaran Kak Dira—ikut menunjukku. Tidak seperti kembarannya yang menuduhku penuh, dia terlihat meremehkanku. “Dia keluar kamar aja nggak pernah.”

    “Tenang, Disa, Dira, kalian jangan tambah bikin panik!” kini gantian Bunda menegur si kembar. Bunda bersama Daris—kakak pertamaku duduk di sofa sambil memangku Dewa, adikku yang masih berusia lima tahun.

    “Ada apa sih?”

    Semua orang menatapku heran. Mungkin pikir mereka, akibat tidak pernah keluar kamar selain mengambil makanan membuatku tidak tahu apa yang terjadi.

    Sebelum melangkah ke sana, inilah keluargaku. Aku anak keempat dari lima bersaudara. Selain sibuk sekolah online—yang ternyata sungguh membosankan—aku sibuk bermain game seharian. Ditambah makan, mandi, dan buang hajat seperlunya. Tapi, jika disuruh membandingkan, aku lebih suka sekolah biasa dan bertemu teman-teman daripada berada di rumah tanpa tahu keadaan dunia luar. Untungnya, sebagai anak yang nyaris bungsu, tugasku di rumah tidak sebesar si kembar yang harus membantu Bunda ini itu. Mengurus Dewa, mencuci baju, memasak, mencuci piring, yah, hal seperti itu lah.

    Seperti yang kusebutkan di awal, aku lebih suka di dalam kamar.

    Tiba-tiba Bang Daris sudah mencengkeram lenganku dan mengajakku masuk ke kamar mandi tamu. Aku pikir kakakku itu akan menunjukkan bangkai tikus atau sejenisnya sebab belakangan ini rumah sedang ribut tentang keberadaan tikus. Tapi nyatanya tidak. Buang jauh-jauh pikiran normal kalian, sebab di sana ayahku sudah terbujur kaku bersimbah darah di mana-mana. Pusat lukanya di perut bagian kanan cukup dalam, bahkan aku sangsi lukanya telah menembus hati. Parahnya, ayahku sudah tidak bernyawa.

    Pikiranku langsung menghubungkan semua kasus yang pernah kubaca di mana-mana. Komik Conan, PigPen, novel Agatha Cristie, dan segala macam kasus pembunuhan yang pernah kubaca maupun film yang kutonton.

    Kasus pertama, perampokan. Jika memang ini perampokan, mengapa hanya ayahku yang diserang? Bahkan tidak ada satupun barang yang hilang di rumah ini. Tetapi bisa saja ayahku menyadari kedatangan perampok lebih awal bahkan mungkin sempat menyerang balik perampok tersebut sebelum sempat mengambil apapun di sini. Di samping ayahku senjata masih tergeletak rapi. Kalau tidak salah menduga, Ayah meninggal karena kehabisan darah. Butuh waktu lama untuk seseorang meninggal akibat kehabisan darah, mungkin waktu kematian sekitar dini hari tadi. Aku bisa saja mencari sidik jadi di pisau tersebut, tapi artinya aku harus menghubungi kepolisian untuk mendapat kepastian.

    “Jangan panggil polisi!” Bunda menyergah tanganku yang bergerak menuju telepon rumah. “Akan repot nantinya. Bunda nggak mau kita semua tertuduh.”

    “Tapi, Bunda—“

    “Bunda benar,” Bang Daris menyetujui ucapan Bunda. “Lebih baik kita selesaikan secepatnya.”

    Kasus kedua, pembunuhan. Tersangka pertama, Bunda yang paling mencurigakan. Bukankah kasus seperti ini akan lebih baik jika memanggil polisi? Meski tersangka pertama adalah orang terdekat ayahku—bahkan termasuk aku—setidaknya polisi bisa mengusutnya lebih dalam sekaligus mencari tahu kebenarannya. Tetapi Bunda malah sibuk menutupi semuanya dan duduk-duduk di sofa. Meski begitu, aku tidak menemukan motif Bunda membunuh Ayah. Mereka berdua baik-baik saja sejak terakhir kali aku melihat mereka berduaan.

    Itu.. sekitar seminggu yang lalu.

    Tunggu, apa aku tidak keluar kamar selama itu?

    Ah, sudahlah.

    Tersangka kedua. Bang Daris. Aku menemukan satu motifnya kalau-kalau dia membunuh Ayah. Seminggu yang lalu, dia meminta uang untuk mengganti motornya dengan motor keluaran terbaru. Dapat ditebak, Ayah menolak dengan alasan banyak kebutuhan. Bang Daris sempat protes bahkan membentak Ayah. Yah, itu bisa jadi alasannya. Tetapi jika memang benar, mengapa baru membunuhnya tadi malam? Ada apa dengan semalam?

    “Apa yang mau Bunda lakukan dengan ini?” Kak Disa menghampiri Bunda sambil menunjuk kamar mandi. “Disa nggak mau jadi pembunuh!”

    Jadi pembunuh? Apa Kak Disa yang membunuh Ayah? Tapi apa alasannya? Sejauh ini Kak Disa tidak memiliki alasan untuk membunuh Ayah selain tidak mendapat restu dari beliau tentang hubungannya dengan Andre—yang katanya cowok tidak jelas. Masuk akal. Toh kasus sekarang di mana-mana sibuk memberitakan hal itu. Tapi masih meragukan bagiku. Kak Disa bukan tipe orang yang suka bermain kasar. Apalagi membunuh.

    Justru Kak Dira yang bisa begitu. Dia bahkan tega memotong-motong ayam mentah yang dibelinya di pasar bersama Bunda dan membersihkannya seperti tidak terjadi apa-apa. Sedangkan Kak Disa sudah menahan muntah sambil pura-pura sibuk mengupas bawang. Tapi setahuku dia juga tidak memiliki alasan untuk membunuh Ayah.

    Atau Dewa? Anak berumur lima tahun? Membunuh Ayah? Meski tidak dapat dikecualikan, aku tidak bisa membayangkan adikku itu bisa membunuh ayahnya sendiri.

    “Bunda, kita telepon polisi aja biar jelas.”

    “JANGAN!” bukan hanya Bunda, semua orang kecuali Dewa menolak saranku.

    “Atau bener dugaan Denis, salah satu dari kalian pembunuhnya?”

    Kak Disa menerjangku dan mendorong pundakku hingga aku terjatuh. “Lo gila ya?! Lo nuduh gue yang bunuh Ayah? Justru elo yang paling mencurigakan di sini! Siapa yang tahu lo diam-diam keluar kamar tadi malam dan bunuh Ayah?”

    “Atas dasar apa gue bunuh Ayah gue sendiri?”

    “Karena lo dikatain bodoh sama Ayah lo sendiri,” sahut Kak Dira. “Apa gue salah?”

    Aku terdiam. Beberapa hari lalu Ayah memang mengatakan aku bodoh karena nilai rapor terakhirku di bawah rata-rata semua. Bahkan parahnya, Ayah membahas hal itu terus-menerus sampai di acara luar sekalipun. Tentu saja rasa maluku amat besar hingga rasanya ingin membunuhnya. Tapi aku tidak sebodoh itu untuk merealisasikannya di dunia nyata. Meski sesekali aku memimpikannya di malam hari yang terasa amat nyata.

    “Jadi benar kamu yang melakukan itu, Denis?” suara lembut Bunda menginterupsi obrolan.

    “Mana mungkin, Bunda? Denis masih waras.”

    “Jangan sebut-sebut waras dalam keadaan ini. Bagi gue nggak ada yang waras di sini,” ucap Kak Disa sarkas.

    “Sudah, kamu jaga Dewa, Denis. Biar kami bersihkan kamar mandinya dulu.”

    “Tunggu, Bunda!” aku berjalan cepat ke dalam kamar dan mengambil ponselku guna memotret TKP.

    Lagi-lagi Kak Disa menyergahku. “Lo gila ya?!”

    Setelah mendapat beberapa gambar, aku membiarkan mereka mengurus TKP.

    Oke, ini terasa sangat aneh. Semua masih berjalan normal semalam dan berbanding terbalik pagi ini. Bahkan aku belum sempat membuka mata secara nyaman melainkan langsung kaget akibat perdebatan di luar kamarku. Sangat beruntung bagi Dewa yang masih kecil. Dia bahkan bisa tersenyum sekarang tanpa harus ribut mencari siapa pembunuhnya. Sambil melihat-lihat foto tadi, aku membayangkan, seharusnya aku saja yang menjadi Dewa.

    Tunggu.

    Luka ini.. bukan luka yang dilakukan secara sengaja. Meski dalam, seolah-olah dilakukan oleh tangan yang tidak ahli menggunakan pisau. Dari semua orang di rumah ini, hanya Dewa yang memiliki kemungkinan itu. Tapi mengapa Dewa bisa sampai mendapatkan pisau dapur tersebut? Iya aku mengenali pisau tersebut adalah salah satu dari pisau yang ada di dapur. Bukankah tidak mungkin Dewa bisa mengambilnya dan mengayunkannya ke perut Ayah?

    Ketika semua orang sudah kembali berkumpul, aku mengajak Bunda bicara berdua.

    “Luka itu, nggak dilakukan oleh orang yang biasa pake pisau, Bunda. Kalau Denis mengecualikan semua orang di luar rumah dan menyempitkan pelakunya salah satu dari kita, aku memikirkan Dewa.” Terangku membuat Bunda cukup terpaku. “Apa Denis salah?”

    “Bagaimana kamu bisa berpikir sampai ke sana, Denis?”

            Aku menatap Bunda, “Dari buku, dari film-film yang pernah Denis tonton. Jawab dulu pertanyaan Denis, Bunda.”

    “Kamu nggak sepenuhnya salah, dan nggak sepenuhnya benar,” Bunda memulai ceritanya. “Semalam Dewa nggak ada di samping Bunda jam sebelas malam. Bunda bangun buat mencari Dewa dan ternyata dia sudah di depan ayahmu yang sedang meringis kesakitan. Bunda sangat syok, Denis, yang Bunda pikir hanya, mengambil Dewa untuk menyelamatkannya dari kasus ini.”

    “Bun..”

    “Bunda nggak kepikiran cara lain, maaf..” Bunda menunduk. Beliau terlihat menyesal. “Tapi, Denis, ada yang aneh. Wajah Dewa semalam. Dia tertawa di depan ayahmu.”

    Setelah membicarakan hal itu, aku melangkah keluar diikuti tatapan heran dari tiga kakakku dari sofa. Mereka semua terlihat curiga. Mungkin mereka penasaran apakah aku menuduh mereka bertiga atau tidak. Tetapi fokusku hanya pada Dewa yang sibuk membongkar mobil sedan mainannya.

    Tidak mungkin, bocah itu..

    Di kamarku, aku menyalakan komputer yang biasa kugunakan untuk bermain game. Mungkin memainkan beberapa ronde di game kesukaanku bisa menghilangkan pikiran aneh ini. Kata Bunda, beliau sudah memutuskan untuk menyamarkan kematian Ayah dengan penyakitnya. Jantung. Tanpa melibatkan polisi. Buat senatural mungkin. Aku hanya mengangguk. Terserah, skenario full ada di tangan Bunda.

    Saat aku iseng menatap sudut kamarku di mana baju-baju kotorku menumpuk, aku menemukan hal aneh. Kaos kakiku. Aku ingat memakainya semalam tapi aku tidak ingat kapan melepasnya. Kaos kaki itu berwarna oren gelap. Aku ingat memakai kaos kaki berwarna kuning.

    Tunggu.

    Bukan Dewa yang membunuh Ayah.

    Tapi aku.


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.