Ilustrasi: yesmuslim.blogspot.com
Kutemukan Cinta dalam Islam
Oleh: Ratna
Sedih….sakit…dan
terluka.
Tiga kata yang membuat pertahananku runtuh. Sakit
rasanya hubunganku berakhir hanya sepihak. Aku baru saja putus dari pacarku,
Frans adalah laki-laki bajingan yang memutuskanku semalam. Semua yang dia inginkan telah aku berikan. Kini dia telah pergi tanpa satu alasan pun, hanya
meninggalkan kehancuran lahir dan batin.
“Hiks…hiks…..tega
kau Frans..tega….kau pergi setelah menghancurkanku,” emosiku. tanganku masih saja memukul- mukul
ranjang dan tubuhku masih berada di lantai.
“Laki-laki biadab..persetan kau…!!!” teriakku. Setan semakin membakar habis- habisan
emosiku.
“Aku
benci…bajingan itu…!! aku benci…..!!!” tanganku melemparkan barang di dekatku
ke sembarang tempat. Air mataku mulai
jatuh tak beraturan.
“Hahahaha….” tawa ku mulai
terdengar layaknya orang gila yang tertawa setelah menangis. Kubenamkan wajahku di samping
ranjang, “Laki-laki brengsek!”gumamku. Kini hanya angin
yang bersuara, terdengar kicauan burung yang sedang mengintip kesedihanku.
Aku kembali
terdiam membisu. Pikiranku entah sedang pergi kemana. Hatiku masih sakit,
rasanya mengingat perlakuan laki-laki biadab itu. Kehormatanku telah lenyap karena ulahnya.
Hancur sudah semua impianku. Kini hanya isakan tangis yang terdengar merdu di
telingaku.
Terdengar
langkah kaki dan krekk, pintu kamarku telah terbuka oleh seseorang.
“Bel…be..la
kamu kenapa?” tanyanya begitu melihatku
yang masih terdiam di lantai dan kamarku sudah seperti kapal pecah. Namun
mulutku masih tertutup rapi, tak ada suara yang keluar, karna aku lebih memilih
terdiam seribu bahasa.
Dia mulai
mendekatiku, tubuhnya jongkok
menyeimbangi tubuhku yang masih duduk di lantai. Dia memegang kedua
bahuku, ”Kamu kenapa, Bel?” tanyanya lembut. Namun tak ada jawaban yang
terlontar dari bibirku, hanya gelengan kepala saja yang bisa ku berikan .
“Bel
jawab…..kamu kenapa? Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kamu nangis? Kamarmu
jadi berantakan kaya gini, kenapa Bel? Cerita sama aku,” tanyanya dengan suara yang sangat lembut.
Kubalikkan
wajahku menghadapnya, ku peluk erat Dara,sahabat terbaikku yang selalu
menasehati. Namun sayangnya, nasehatnya hanya bagai angin bagiku, hanya sebatas
kudengar namun tak pernah sedikit pun kupikirkan apalagi kulakukan.
Kucari
ketenangan dalam dekapannya. Isakan tangisku semakin memanas.
“Menangislah
jika itu membuatmu tenang, Bel,” tangannya
masih setia mengelus rambut panjangku.
“Ra…aku salah
ya..hiks..hiks,” tanyaku yang masih memilih
membenamkan wajahku ke dalam dekapannya.
Dia
menggelengkan kepalanya.
“Kamu nggak salah kok, cuma….” dia terdiam sebentar. “Tindakanmu kurang tepat,” lanjutnya
sambil tersenyum dan memperlihatkan lesung pipinya.
“Apa ini ada
hubungannya dengan Frans?” tanyanya
sambil menyipitkan matanya mencari kebenaran di mataku.
“Iya,” jawabku sambil mengangguk.
Dara membawa
ke ranjang dan menyuruhku untuk menenangkan diri dulu. Dia tak pernah
menyuruhku untuk menceritakan segalanya, karena dia tahu aku sangat membutuhkan ketenangan. Dia tahu semua tentangku namun aku tak pernah
tahu tentangnya. Sahabat macam apa aku ini!!! Dia yang selalu mengajarkan
banyak hal bahkan memperkenalkanku pada Islam. Sayangnya, aku hanya menganggap
itu sebagai bahan lelucon. Dia tidak pernah marah sekali pun, justru dia selalu
mengukir senyumnya.
“Ra….” panggilku.
“Iya Bel, kenapa?” Sambil mengangkat alisnya menerka-nerka apa
yang akan aku bicarkan.
“Aku pengen
cerita,” singkatku masih dengan raut wajah yang
memelas.
“Kalau mau
cerita, cerita aja. Aku akan dengerin kok,” dengan
senyum yang masih mengembang di wajahnya.
Semua
tragedi malam itu ku ceritakan padanya
yang lagi-lagi membuat hatiku semakin hancur. Air mataku semakin meluncur jatuh ke bawah. Namun
tanpa sadar, bebanku sudah mulai berkurang.
“Jadikan ini
pelajaran Bel, jangan tergiur dengan buaian
laki-laki. Karena jika seorang pria benar-benar
mencintai kita maka sudah tentu mereka mengajak menikah bukan malah memilih
jalur yang salah,” tukasnya masih
dengan kata-kata bijaknya yang menenangkan jiwa.
Tak hanya
pembahasan tentang itu, melainkan hari ini adalah hari di mana secerca asa datang kembali dalam hidupku walaupun dalam
bentuk yang berbeda. Namun meski begitu, ternyata ini jauh lebih baik dari
sebelumnya. Aku memutuskan untuk memakai pakaian yang tertutup, kubuka lembaran
baru. Aku mulai belajar tentang Islam.
***
2 bulan
kemudian...
Aku bukan yang
dulu. Hidupku telah berubah dalam lembaran baru. Masa lalu memang tak harus di lupakan namun ambilah
sebagai pelajaran untuk masa yang akan datang.
“Bel, jadi nggak ke pengajian?” tanya Dara yang sudah berada di kamarku beberapa detik
yang lalu.
“Iya jadi,
ayok kita berangkat. Let’s go!” jawabku dengan penuh semangat.
Kami meyusuri jalan untuk menuju masjid kampung
sebelah. Inilah rutinitas mingguan kami yang mungkin bisa
di sebut hiburan bagi kami setelah berhari-hari harus bekerja menatap komputer
terus-menerus. Aku dan Dara bekerja di perkantoran ternama di ibukota. Setelah
beberapa menit kami sudah sampai di masjid At-Taqwa. Aku dan Dara menempatkan
diri. Tak hanya para akhwat yang datang melainkan para ikhwan pun datang juga.
Pengajian kali
ini ternyata berbeda, biasanya yang membaca Al-Qur’an adalah ustadz Mansyur namun kali ini
yang mengisi bukan beliau, melainkan seorang pemuda. Namanya Ahkam, suaranya
sangat merdu. Siapa yang tidak suka dengan suaranya yang mirip vokalis band
NOAH? Entah kenapa jantung ini berdegup kencang saat
ku dengar suaranya. Namun sayang, aku belum bisa melihat wajahnya dengan jelas
karna masih tertutup pembatas laki-laki dan perempuan.
****
Hari ini aku
mendapat jatah lembur dari bos, karna salah satu timku ada yang berhalangan
hadir. Pekerjaanku menumpuk, aku menyelesaikan tugasnya pukul 23.00 WIB. Sedangkan Dara sudah pulang lebih
dulu.
“Astaghfirullahaladzim, ini sudah
jam segini lagi,” sambil ku
lihat jam tanganku. Tanpa berpikir panjang, ku ambil tas ranselku untuk pulang.
Kutunggu angkot tidak ada yang berlalu lalang seperti biasanya. Akhirnya aku
memutuskan pulang dengan jalan kaki.
Tiba- tiba...
“Kok sendirian aja neng,” goda pria gondrong yang mulai mendekatiku.
“Abang anterin
yuk, jangan jalan kaki sendirian dong, nanti
kakinya kan bisa lecet,” goda pria
yang berkumis tebal.
Dua preman itu
mendekatiku, aku berteriak minta bantuan namun sayang, jalanan terlalu sepi,
mau sampai suara habis pun tidak ada yang mendengar, apalagi ini tengah malam.
“Neng jangan
jual mahal gitu dong,” pria
berkumis tebal itu sudah memegang daguku. Sedangkan pria gondrong itu memegang
lenganku.
“Jangan berani
sentuh aku!!!” teriakku sambil menjauhkan tubuhku yang gemetar dan keringat
dingin pun sudah mulai bercucuran.
“Jangan
galak-galak dong,” tangan
mereka sudah mengunci tanganku dengan cengkramannya yang kuat. Air mataku semakin deras, aku semakin memberontak
namun semua sia-sia.
“Lepasin…lepasin..aku
mohon,” aku memohon dengan
suaraku yang bergetar. Mereka tak menggubrisku, justru mereka semakin
memperlakukanku layaknya wanita jalang. Krudungku sudah ditarik oleh mereka,
lengan bajuku sudah di sobek oleh mereka juga. Aku pasrah. Apa aku akan
kehilangan kehormatanku untuk kedua kalinya, Ya Allah? Namun saat mereka akan berbuat hal nyang
menjijikkan itu ada sebuah mobil yang berhenti tepat di
depan kami.
“Lepaskan
gadis itu sekarang juga!” pria yang
barusan turun dari mobil mulai mendekati kami dan tangannya sudah memberi tinjuan
pada pria gondrong yang tak jauh dari tempatnya.
“Hahahahaha….memangnya
dia siapamu, hah?” jawab pria
berkumis yang tertawa sinis.
“Istriku,” singkatnya sangat datar.
Pria yang mengaku-ngaku sebagai suamiku itu melayangkan tinjuan pada preman yang
berkumis. Cengkramannya pun terlepas, akhirnya mereka saling memukul 2 lawan
satu. Tak beberapa lama dua pria itu terjatuh, dan akhirnya memilih kabur.
“Kau tidak
apa-apa?” tanya pria yang
menolongku sambil menyerahkan krudung yang sudah di buang oleh dua preman tadi.
“Pakailah
nona, mari ku antar pulang, ini sudah
larut malam,” ajaknya.
“Ma—kasih,” ucapku yang
masih dengan isakan.
Aku pun
mengiyakan ajakan pria yang menolongku untuk mengantarkan pulang. Kami pulang
dengan mobilnya.
“Jalanan ini
memang sangat rawan apalagi tengah malam begini. Lain kali hati-hati ya,” ucap pria di sampingku, membuka obrolan yang
masih terlihat sangat canggung.
“Iya,” singkatku.
“Pakailah
jasku dulu,” ucapnya datar sambil memberikan
jasnya yang baru saja dilepas dari tubuh kekarnya.
“Terimakasih
untuk pertolongannya mas,” ucapku
sambil mengambil jas dari tangannya. Aku memang sangat membutuhkannya untuk
menutupi bagian tubuhku yang terbuka, karena pakaianku
sudah sobek.
“Sama-sama,” jawabnya kembali datar.
Kami mulai
terdiam, aku lebih memilih menatap ke jalanan sedangkan dia lebih memilih fokus menyetir.
“Namamu siapa?” tanyanya datar.
“Bela Nurika,” jawabku singkat.
“Cantik,” ucapnya.
“Hah??” Tanyaku.
“Mak—sudku namamu cantic,” jawabnya yang seketika gugup.
“Ooo….” aku menganggukan kepala.
“Oh iya sebelumnya perkenalkan namaku Arka,“ sambil mengulaskan senyum meski fokus dengan
setirnya.
“Iya,” jawabku singkat.
Setelah
beberapa saat kami sudah sampai.
“Makasih ya
mas,” ucapku.
“Sama- sama. Lain kali hati hati ya. Kalau begitu saya
permisi, Assalamualaikum,” jawabnya sambil membuka kaca mobilnya.
“Waalaikumsalam.”
***
1 minggu
kemudian…
Aku dan Dara
lebih memilih mengisi liburan dengan pergi ke
pengajian seperti biasanya. Ini sudah menjadi
rutinitas bagiku setelah tragedi beberapa waktu silam. Cahaya ilahi kini mulai
bersemi dalam hidupku.
Saat kami
sudah di teras masjid ada sosok pria yang di situ juga, aku memicingkan mata. Apa
aku kenal dengan pria itu? tanya ku dalam hati. Oh iya, itu kan pria yang menolongku malam itu. Aku pun
tanpa pikir panjang menghampirinya. Dara pun mengikutiku dari belakang dan
masih bingung apa yang sebenarnya terjadi.
“Assalamualaikum,” ucapku dengan senyum yang mulai mengembang.
Entah mengapa jantung ini berasa mau copot.
“Waalaikumsalam,
lho kok kamu di sini?” tanyanya.
“Mau
pengajian, emang mau ngapain? Mas Arka mau pengajian juga?” tanyaku sambil menaikan alis tebalnya.
“Ohhh kirain.
Iya saya mau pengajian,” jawabnya
sambil tersenyum.
Setelah perbincangan
kami di teras masjid, kami masuk ke dalam karna acara akan segera dimulai. Aku
duduk di tempat para akhwat bersama Dara.
Dara tiba-tiba menyenggolku, ”Bel, itu siapa?” tanyanya dengan rasa
penasaran.
“Itu mas Arka yang menolongku malam itu,” jawabku sambil senyum- senyum sendiri.
“Oooh… kamu suka sama dia ya, Bel?” tanyanya mulai
menggoda. Bahkan sebelum kujawab pun dia sudah tahu kalau aku menyukainya. Aku
tak menjawab pertanyaan konyol yang membuatku salah tingkah.
“Acara yang
ketiga ada pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an oleh
saudara Ahkam,” pernyataan dari MC. Aku dan Dara
mulai menikmati lantunan kalimat Tuhan itu. Aku penasaran dengan pemilik suara
merdu itu, aku pun maju sedikit dan ternyata yang membaca adalah pria itu, Mas
Arka. Saat aku masih memandangnya
ternyata tatapan kami bertemu, jantungku pun mulai tak karuan. Aku sangat
terkejut karna sosok yang aku kagumi ternyata adalah sosok yang sama. Pengajian
pun selesai.
Aku dan Dara
keluar masjid, “Tunggu Bela!” ucap seseorang dari belakangku.
“Iya,“ sambil membalikkan
badan. Ingin ku bungkam mulut rapat-rapat.
“Bisa kita bicara sebentar di sana?” Mas Arka menunjuk arah pohon yang berada tidak jauh
dari masjid. Tak ada jawaban yang ku berikan, aku malah meminta persetujuan
pada Dara. Dengan anggukan yang di berikannya padaku akhirnya, aku
menyetujuinya.
“Maaf Bel, sebelumnya
jika aku lancang. Sebenarnya… sejak awal aku sudah jatuh hati padamu. Aku
sekarang sedang mencari pendamping hidup, apa kamu mau menjadi ibu dari
anak-anakku kelak?“ ucapnya
dengan satu napas. Aku hanya menganga dan kubungkam mulut tak percaya. Apa aku
mimpi?
Air mataku meluncur seketika. Allah maha baik,
memberikan yang telah hilang dengan lebih baik. “Iya mas,” jawabku singkat yang
masih dengan perasaan tak percaya.
“Makasih udah
mau jadi bidadari halalku Bela Nurika,” ucapnya
dengan mata yang masih berbinar-binar.
“Sama-sama mas—“ aku bingung mau sebut namanya siapa.
“Kok dipotong sih?” tanya dengan
menaikkan alisnya.
“Bingung mau panggil siapa. Disini namamu Ahkam
dan waktu itu kau bilang Arka,” jawabku yang masih bingung.
“Ooh itu. Oke saya jelaskan
sekarang ya. Nama, Arka Nur Ahkam. Nama di dalam kajian memang dengan nama itu.
Jika di kantor itu Arka...heheheh,” ulasnya sambil terkekeh.
“Ooo… baiklah mas Arka,” sambil ku
ulaskan senyum yang mulai memperlihatkan lesung pipi. Kami hanya saling menebar
senyum.
Dara dari
belakang memelukku, “Ciee yang udah
mau married,” godanya. Tangannya masih melingkar di pinggangku.
Aku hanya
mampu tersenyum. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang bersama. Cinta kami
bersemi dalam genggaman Islam bersama langit yang meneduhkan hati yang dulu
pernah pilu.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar