Ilustrasi: www.thoughtco.com
BALLERINA(S)
Oleh: Alifa Maulidya
Letak kesalahannya bukan padaku, tetapi pada Airin yang telah membuatku
menari selama berjam-jam hingga larut malam. Padahal sekarang hari Selasa dan
besok aku masih harus menghadiri kelas di kampus. Lebih parahnya lagi, kami
keluar ruangan ketika seorang satpam memergoki kami tengah menyalakan musik
pada jam 10 malam. Aku tidak tahu alasannya tetapi satpam tersebut menatap kami
seolah-olah memainkan musik di jam tersebut adalah kesalahan. Kemudian kami
memutuskan untuk berpisah di depan gedung seni karena kami memang beda arah
pulang.
Airin adalah teman seperjuanganku. Maksudnya adalah kami memiliki hobi dan
cita-cita yang sama. Menari balet. Mungkin tarian itu sudah tidak lagi populer
di era sekarang yang kebanyakan telah menggantinya dengan tarian modern. Tetapi
tidak bagiku. Gen dari mama yang dulunya berprofesi sebagai penari daerah di
tempat kelahirannya dulu membuat tubuhku luwes dan mudah berlenggak-lenggok.
Bedanya hanya aku tidak suka menari tradisional. Sebenarnya aku bisa, tapi
tidak suka karena aku lebih tertarik dengan dunia balet dan bercita-cita
menjadi balerina.
Namun sekali lagi masalahnya ada pada papaku. Beliau sangat akademis hingga
tidak menyetujuiku sebagai putrinya untuk setidaknya mengembangkan bakatku.
Beliau ingin sekali melihatku menjadi dosen macam beliau. Oke tidak apa, aku
mengalah. Aku sudah dua tahun kuliah di jurusan pendidikan sekaligus berlatih
balet di gedung seni bersama Airin. Bertemu Airin memberiku secercah harapan
baru untuk melanjutkan mimpiku. Apalagi akan ada lomba di kota dan kami berdua
sudah berjanji untuk mengikutinya.
"Sudah mendinginkan kakimu semalam?" tanyaku esok harinya di
tempat berlatih kami. Aku sedang menali sepatu baletku sembari mengobrol
ringan.
"Sudah," Airin mengangguk pelan. Dia terlihat pendiam sore ini.
Masih dengan rambut terurai panjang dan baju santai seperti biasanya. Terkadang
aku merasa Airin terlihat sangat pucat dan tubuhnya pun dingin, tapi dia
menjawab tidak apa-apa setiap kali kutanya kenapa.
"Lombanya besok loh, Rin," aku berucap semangat. "Aku nggak
sabar!"
Airin tidak menanggapiku dan terus mengikat rambutnya ke belakang.
Sepertinya moodnya tidak baik sekarang.
"Kamu nggak senang lomba denganku, Rin?"
"Bukan gitu, Ra," sergahnya
sambil menatapku. "Aku hanya.."
"Ah aku tahu!" selaku sebelum dia sempat melanjutkan. "Kamu
pasti gugup, kan? Sama, aku juga! Makanya ayo kita latihan!"
Mungkin kalian bertanya-tanya mengapa aku sangat terobsesi untuk menjadi
balerina padahal hobi itu tidak akan memberiku jaminan di masa depan. Oke,
tidak apa kalau pada akhirnya aku harus menjadi dosen—atau apa, tetapi sebagai manusia biasa aku juga ingin melakukan apa
yang kuingin, dan Airin bilang, mungkin aku bisa meyakinkan papaku jika nanti
aku menang lomba ini. Kalau tidak menang, aku akan menyerah menjadi balerina.
Serius. Walau menurutku memiliki status 'balerina' tidak hanya untuk
orang-orang yang sudah menerima sertifikat juara dan lain-lain, bukankah
seorang penyanyi juga tidak butuh sertifikat agar dipanggil 'penyanyi'? Tapi ya
sudahlah, bisa menari balet saja aku sudah senang, apalagi aku tidak sendiri.
Bersama Airin yang hari ini terlihat agak.. pucat.
Oke, sudah, sudah, memangnya aku siapa harus tahu detail keadaan Airin? Ya
memang dia temanku tapi bukan berarti juga aku harus tahu semuanya.
Astaga, terkadang pikiranku melantur kemana-mana.
"Airin," aku menghampirinya. "Mau latihan dari bagian
mana?"
Dia terlihat berpikir sejenak, "Bagian inti aja.”
Sejak lama aku agak memikirkan lagu yang dipilih Airin. Deliver Me yang
dinyanyikan oleh Sarah Brightman. Helloo, semua orang juga tahu itu lagu yang
sudah sangat sangat lama. Aku selalu menyarankannya untuk mengganti dengan lagu
lain yang mungkin lebih modern, tapi dia menolak. Dia bilang lagu ini sangat
cocok dengan cerita yang akan kami bawakan. Cerita apa? Tentu saja cerita
kehidupanku, ehm, kami. Tentang satu mimpi yang kita idam-idamkan namun tidak
terwujud karena pihak lain tidak menyetujuinya. Dalam hal ini orang tua kami.
Nah, klimak yang tadi disebut Airin adalah bagian di mana kami harus
menunjukkan bahwa kami tidak bisa selamanya berada dalam kurungan orang lain.
Kalian harus menontonnya esok dan menilai sendiri. Aku jamin kalian tidak akan
menyesal.
...
"APA INI, RA?!"
Sudah kuduga, papa akan bereaksi seperti itu jika aku nekat memberitahu
tentang perlombaan balet besok siang. Aku memang sengaja memberinya selebaran
itu dan memberi note dengan tulisan besar-besar, 'DYARA AKAN IKUT INI!'
"SUDAH PAPA BILANG JANGAN SEKALIPUN IKUT KEGIATAN TIDAK BERGUNA
INI!" kini bahkan papa sudah berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka
lebar. Beliau masih menggunakan setelan formal yang artinya baru pulang. Yah,
memang aku sedikit berdosa sudah membuatnya marah ketika beliau sedang lelah.
Tapi lebih baik begitu, bukan?
"Dyara nggak akan maksa papa atau mama nonton Dyara besok,"
ucapku kelewat santai. "Dyara cuma memberitahu."
"MEMBERITAHU?"
"DYARA JUGA BUTUH MELAKUKAN APA YANG DYARA SUKA, PA!"
Papa terdiam mendengar teriakanku. "Kamu protes sama papa?"
"Dyara janji akan melakukan apapun yang papa mau kalau Dyara
kalah," kataku sambil menatap papa berani. "Kalau Dyara menang, Dyara
mau papa nggak melarang Dyara berlatih balet lagi!"
"Oke kalau itu maumu," papa melonggarkan dasinya yang sudah
longgar sejak tadi. "Kamu pegang janji papa."
Apa aku tadi bilang aku menyesal karena bertaruh seperti itu?
Kalau belum, kuberitahu. Aku benar-benar menyesal karena berani mengucapkan
hal-hal konyol itu. Ya Tuhan, sejak kapan pula aku berani menatap papa setegap
itu? Hei, sejak kapan pula aku memiliki keberanian itu? Aku benar-benar
menjambaki rambutku sendiri begitu papa pergi setelah menutup pintu kamarku
keras-keras. Aku juga memukul mulutku berkali-kali karena telah berani melawan
papaku sendiri. PAPAKU! Oke, aku terbawa emosi. Masalahnya adalah, bagaimana
kalau aku kalah? Ini lomba balet pertamaku setelah dua puluh satu tahun hidup
di dunia. Bagaimana jika aku memalukan diriku sendiri?
Arrgghh aku mulai gila.
Oke, cukup. Aku hanya perlu menampilkan yang terbaik, bukan?
...
Aku berjanji akan bertemu Airin jam 11 siang ini guna membahas hal-hal yang
kurang selama latihan. Dari yang kulihat, dia sudah merias wajahnya—meski tipis tapi dia tetap terlihat berbeda. Sejujurnya aku juga sudah
merias wajahku. Begini-begini aku bisa membedakan mana foundation dan
moisturizer, blush on dan contour, dan segala macam alat make up untuk
kecantikan. Perempuan, terutama.
Tuh kan, aku memang suka melantur.
Pokoknya kami menghabiskan waktu sebelum acara untuk merilekskan pikiran.
Di atap gedung tempat kami melaksanakan lomba nanti. Tapi belum menggunakan
pakaian balet, tentu saja.
"Dyara," ucapnya lembut. Bahkan nyaris tidak terdengar jika di
atap tidak hanya ada suara angin berhembus. Tapi anehnya aku sedikit menggigil.
"Aku minta maaf."
"Untuk?"
"Untuk tidak jujur."
Aku mengerutkan kening, kemudian menatapnya yang sedang memandang
gedung-gedung tinggi. "Tidak jujur soal apa?"
"Soal aku."
"Ada apa, Airin?"
Gadis itu berbalik menatapku, cukup lama dan hanya diam. "Berjanjilah
padaku jika kamu menang nanti, jangan pernah melupakanku."
Aku tertawa. "Hei, bagaimana bisa aku melupakanmu? Kamu kan
temanku."
Dia hanya tersenyum.
Obrolan itu tidak memiliki kesimpulan. Tanda tanya yang aku berikan di
akhir perkataanku pun tidak pernah ada jawabannya bahkan hingga akhir
nanti.
Pikiranku buyar ketika Airin mengajakku turun. Sudah hampir pukul satu yang
artinya sebentar lagi akan mulai. Sambil berjalan turun, aku terpikir orang
tuaku. Apa mereka akan datang? Ah, tidak mungkin. Papaku mana sempat datang
kesini demi menonton anaknya melakukan hal yang tidak beliau sukai? Kalau
mamaku masih mungkin, beliau kan suka seni. Namun tidak apa juga jika tidak ada
yang menontonku. Aku bisa melakukannya tanpa harus memikirkan komentar mereka.
Kami mendapat urutan ketiga dari lima belas peserta yang ada. Tunggu, bukan
berarti pesertanya hanya lima belas, tapi kami semua adalah finalis terakhir
setelah seleksi besar-besaran beberapa minggu yang lalu. Jadi mereka semua,
yang merupakan sainganku adalah orang-orang hebat dengan kemampuan yang kuyakin
melebihi diriku sendiri. Setelah berganti baju, kami berkumpul dengan peserta
lain di ruang tunggu. Airin bahkan menggenggam tanganku guna menenangkan.
Tangannya sangat dingin, mungkin karena efek gugup juga.
Semua orang selalu memerhatikan kami ketika kami
mengobrol. Sesaat aku bertanya-tanya juga mengapa. Perasaan kami bicara dengan
suara pelan dan tidak mengganggu mereka. Tapi aku tidak akan repot-repot
memikirkan itu karena aku harus tampil beberapa saat lagi. Begitu nomor urut
tiga dipanggil, aku dan Airin sama-sama berdoa, lalu memantapkan langkah ke
atas panggung.
Aku langsung menggerakkan tubuhku ketika musik pertama muncul. Di bagian
ini aku harus menceritakan siapa diriku bagi semua orang melalui tarian. Begitu
juga Airin. Kami melakukan gerakan yang sama. Di menit selanjutnya, aku
menceritakan sisi lain diriku selain berperan sebagai putri orang tuaku. Aku
yang suka stres memikirkan tugas, aku yang suka sembunyi-sembunyi menari di
kamar, di kamar mandi. Kalian bisa membayangkan betapa dua sisi tersebut
amatlah berbeda. Dan klimaknya, bagian yang sangat sulit buatku dalam latihan
apalagi dalam performa sebenarnya. Aku harus membayangkan betapa inginnya aku
menunjukkan bahwa aku bisa menari secara bebas terlepas dari statusku sebagai
mahasiswi sekaligus putri papa-mamaku. Tapi bukan berarti aku harus dirantai
dalam keinginan papaku, menjadi apa yang beliau mau. Karena menjadi keduanya,
entah penari atau putri papa, aku bisa. Aku bisa keduanya.
Aku bangkit setelah mendengar tepukan tangan penonton bergemuruh seantero
gedung. Astaga, apa penampilanku patut mendapatkan apresiasi sebaik itu? Aku
tidak percaya. Tapi tidak dapat kupungkiri juga aku menangis haru menyaksikan
semua itu, terutama ketika melihat mama berada di bangku kedua, berdiri sambil
menyeka sudut matanya. Tidak lupa juga aku menoleh pada Airin selaku penyukses
penampilan ini.
Tapi hei, dimana dia?
Setelah membungkuk sebagai salam terakhir, aku berlari keluar untuk mencari
Airin.
"Permisi," aku mencegat seseorang yang baru saja keluar dari
kamar mandi. "Apa kamu melihat seseorang yang tadi bersamaku?"
Dia terlihat bingung, "Apa maksudmu? Aku tidak tahu."
Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih, lalu kembali mengitari ruang
tunggu untuk mencari Airin. Dimana sih gadis itu? Masa dia tega meninggalkanku
begitu saja? Aku hanya perlu mengatakan bahwa latihan kita tidak pernah
sia-sia! Setelah tidak menemukan dia di manapun di gedung ini, aku menyerah.
Aku duduk di dekat tangga, di depan dinding kaca yang amat besar dan langsung menunjukkan
pemandangan gedung-gedung tinggi. Di mana Airin?
Tiba-tiba pundakku ditepuk seseorang.
"Airin!"
"Siapa Airin?" Seseorang itu yang ternyata mama menatapku
bingung.
"Pasangan balet Dyara, ma."
"Pasangan?" Mama menarik lenganku, "Sudah ayo, sebentar lagi
pengumuman."
Begitu masuk kembali ke dalam aula, MC tengah mengumumkan juara dua.
"DYARA ALINA!"
Tepuk tangan kembali bergemuruh. Tunggu, apa baru saja dia menyebut namaku?
Aku juara dua? HAH? AKU JUARA DUA?
"Dyara!" Mama memelukku erat sekali. "Kamu juara dua!
Hebat!"
"Ma!" Aku menghentikan euforia kebahagiaan mama. "Kenapa
hanya nama Dyara yang dipanggil?"
"Kan memang hanya kamu, Dyara. Masa kamu mau ajak peserta lain biar
menang seperti kamu?"
"Tunggu, tunggu," aku mencengkram kedua sisi wajahku. "Aku
nggak sendiri, ma! Aku bareng temanku! Airin!"
Aku dapat melihat mama semakin mengerutkan kening. "Dyara, kamu
kenapa?"
"Dyara nggak tampil sendiri, ma. Nggak latihan sendiri. Nggak
mendaftarkan namaku sendiri," aku tetap ngotot.
"Dengar mama!" Mama mengambil kedua tanganku dan menyuruhku
menatap mama. "Sejak awal kamu nggak berdua, Dyara. Kamu sendiri. Hanya
kamu."
OH TUHAN.
Lalu siapa Airin yang selama ini bersamaku?
Tanpa menungguku berpikir, mama mendorongku untuk naik ke atas panggung.
Kakiku melangkah begitu saja tanpa bisa kucegah. Aku masih memikirkan siapa
Airin, di mana dia, bagaimana dia bisa bersamaku, latihan bersamaku, menari
bersamaku satu jam yang lalu. Tidak, tidak, bukan itu poinnya. Kenapa? Kenapa
dia bisa menari bersamaku. Jika dia bukan manusia—oh tidak, dia pasti manusia. Tapi jika bukan, kenapa aku bisa
melihatnya?
"AWAS!!!"
Tiba-tiba sesuatu—yang terlihat seperti lampu besar
bergigi tajam dan siap menusuk apapun—berada di atas kepalaku. Tanpa bisa menghindar, benda itu jatuh
mengenaiku. Tepat di atasku. Aku bisa melihat semua orang menjerit ketakutan
terutama mamaku, aku juga bisa melihat seseorang yang terlihat seperti Airin
tengah menatapku. Tersenyum, bukan senyum yang biasanya dia berikan padaku.
Senyum misterius.
"Selamat datang, teman.."
Aku dapat mendengar suaranya. Lembut, nyaris mengalahkan hembusan angin,
mengalahkan jeritan dari setiap orang di gedung ini,
lalu semuanya gelap.
Sebelumnya aku minta maaf karena akhir dari cerita
penampilanku tadi tidak kuberitahu. Jika kuberitahu, mungkin kalian tidak akan
membacanya hingga akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar