• Tropi Untuk Ayah


      Tropi Untuk Ayah

    Oleh : Arini Noor Khasanah

              Aku pernah berjalan di sebuah pematang sawah dengan hakikat aku yang terlalu takut
    pada semua yang membuat hatiku penuh dengan prasangka noda ini kembali terusik
    menunjukkan suatu perbuatan dusta, tapi aku lebih mengenyahkan segala prasangka buruk itu
    dan melakukan hal positif di setiap jengkal langkahku. Suatu itu tak pernah kulamuni
    sebenarnya karena lamunan itu hanyalah khayal yang aku sangat menghobikannya. Ya, aku
    Raina bernama panjang Rainassahlya Putri, gadis bertubuh mungil dengan segala seni dan
    pemikiran yang melekat pada diriku. Aku selalu ingin jauh melompat melampaui apapun yang
    kubayangkan. Tapi apalah aku yang hanya seperti pengabdi khayalan. Mengapa aku diberi
    nama Raina ?, karena yang kutangkap dari cerita ayahku, waktu aku lahir angin ribut kencang
    sekali menerpa, disertai hujan deras yang turun ketika ibuku sedang bersuaha membuatku lebih
    berarti di dunia ini. Itulah mengapa nama “Rain” dipilih untuk diriku yang berarti hujan.
                Hujan pernah menyapaku dalam kejeniusan alam yang membuatku bertemu dengan
    Rizki di sebuah pertigaan jalan di desaku, aku yang sedang berlindung di sebuah parkiran sempit menunggu hujan reda. Tiba-tiba pemuda itu datang menyapaku,
    “Hai Raina butuh jas hujan ?” dia menyodorkan jas hujan pelangi kehadapanku.
    Gumamku mengapa dia mengetahui namaku, akupun tak tahu pemuda ini siapa.
    “Maaf, aku sedang menunggu hujan reda saja” kataku.
    “Beneran, hari sudah mulai gelap Rain..” pemuda ini mencoba kembali menawarkan.
    “Tunggu tunggu ... tadi kamu manggil aku dengan nama Raina.. lalu darimana kamu
    mengatahui namaku sedangkan kita belum pernah bertemu sebelumnya..” sanggahku.
    “Siapa yang tidak tahu Raina coba, gadis pendiam dari kelas ips 2 yang sekalinya
    ngomong nerocos kanan kiri sampai seisi kelas terdiam melihatmu” dia mencoba
    mendeskripsikan diriku.
    “Bagaimana kau tahu hanya dari kata aku mendengar dari seseorang ?” jawabku.
    “Sudah jangan membuatku berdebat denganmu, berat.. mending sekarang kamu pakai
    jas hujan ini dan segera pulang” kata pemuda itu.
    “hmmm” aku hanya diam dan menggumam sembari menerima jas hujan yang
    disodorkan kepadaku. Diapun menuju motornya dan segera pergi meninggalkanku.
    “Heiii siapa namamu ..?” dengan nada tinggi aku berteriak kencang sambil
    melambaikan tangan dan diapun sudah pergi menjauh.
    “Rizkiiiiiiii ............” teriak pemuda itu mengendarai motornya dan sesekali menoleh
    kebelakang menghadapku.
                Aku tak mengerti deskripsi tentang diriku yang disajakkan rizki tadi. Aku hanyalah aku
    yang mencoba bangkit dari keterpurukan keluargaku yang kerap kali terombang-ambing,
    hanya masalah ekonomi. Ekonomi jika aku mensajakkan kata itu rasanya hanya kapitalisme
    saja yang tahu dan menghayati kata tersebut. Akhirnya petang yang hanya tinggal rintikan
    hujan itu aku sampai di rumah yang berpetakan sembilan kali delapan meter. Aku disambut
    dengan senyum manis ibuku didepan pintu.
    “Raina.. sudah pulang....” sapa ibu.
    “Iya bu, maaf ya Rina baru pulang karena tadi mennggu hujan reda” kata ku sambil
    mencium tangan lembutnya.
    “Nak.. ibu boleh bicara sesuatu, kau tahu nak, ibu dan ayah sudah sejauh ini
    menyekolahkan Riki kakakmu yang brandalan itu sampai sarjana, kamu sampai detik ini di
    SMA, Risa adikmu yang setahun lahir setelahmu, Rikna yang maih TK. Kamu harus berjuang
    nak sudah cukup ibu membiayai Riki kakakmu tapi sekarang malah gak jelas keberadaannya.
    Maafkan saja, Rina setelah UN ibu tidak bisa lagi membiayai kamu masuk perguruan tinggi.
    Ibu hanya sebagai buruh di pabrik rokok nak. Ibu terlalu capek memikirkan keberadaan
    kakakmu yang pergi entah kemana” kata ibu.
    “Bu, segala yang ibu berikan itu udah terlalu baik, sekalipun setelah SMA ibu
    menyuruh Rina kerja, Rina akan bekerja.” Tapi yang ada dalam pikirku aku tak bisa melepas
    ilmu tanpa ku kembangkan lagi. Salah satunya dengan melanjutkan ke perguruan tinggi.
    Esokpun datang, aku dikagetkan dengan keberangkatan ayahku ke Riau untuk merantau
    di tambang emas, tanpa sepengetahuanku.
    “Bu, ayah kemana..?” tanyaku.
    “Ayah emmm.. emm”
    “Buk.. Rina tanya ayah kemana ?”
    “Ayahmu pergi ke Riau nak kembali menambang”
    “Ibu.. sudah beberapa kali aku bilang, bapak nggak boleh lagi merantau jauh, kondisi
    kesehatan ayah itu sedang memprihatinkan, ayah itu sudah tua..” kataku sambil memegang
    pundak ibuku.
    “Lalu yang mau cari makan, nyekolahin kamu dan adik-adikmu siapa ?” ibu
    memarahiku.
    “Rina bu... Rina yang akan bekerja jangan ayah..”
    “Yasudah kamu pergi saja sana bekerja cari uang buat makan” gertak ibu ku.
    Disitu hatiku begitu sangat hancur melebur bersama perasaan hati yang bergejolak tak
    rela ayahku kembali berjibaku dengan alat tambang. Kembali ku tata niat hatiku, bekerja dan
    bersekolah lillahita’ala. Dan akhirnya pagi itu aku berangkat ke sekolah degan mata yang
    lebam. Kuharap hari ini hujan, agar tak ada yang mengetahui bahwa aku sedang bersedih.
    Hujan .. bawa rasaku pada Tuhan, Tuhan tolong jaga ayahku dimana pun ia berada karena ku
    sangat mencintainya. Aku terdiam di dalam kelas melihati sosok berilmu sedang berceramah.
    Kepalaku terasa berat, tak apalah aku menyandarkan kepalaku di meja.
    Tiba-tiba rizki kembali datang dan menyapaku. Di lain waktu setelah sekolah.
    “Hai Rin, kadang kita dipermainkan oleh hidup. Tapi sebenarnya yang bermain adalah
    kamu bukan hidup. Tiap hari kamu masih ada disini, kamu masih diberi kesempatan untuk
    memperkuat dirimu lagi. Percayalah, kamu kini hanya sedikit terluka. Tidak ada yang
    selamanya di dunia ini, termask perasaan sedih dan galau. Jadi, bersabarlah sedikit, tunggulah
    sebentar, hari-hari susah ini akan berlalu” kata Rizki yang mencoba menghiburku.
    “Rizki..., kamu ya... sok jadi peramal”
    “Udah.. jangan mencoba mencover wajah deh”
    “Apaan ya gaje banget nih bocah..”
    “Aku tau kok, oh iya aku denger-denger kamu mau lomba debat sosiologi peradaban
    dan seni yah..?”
    “Kata siapa kepo banget yahh..”
    “Kata ibuku, bu Cahya kan ibu aku..”
    “Masa sih.. eehhhh jadi kamu toh anaknya bu cahya..”
    “Iya.. semangat yah.. berarti kita setim dong”
    “Really...?, satu tim.. hoohooo , tapi artinya aku jarang dirumah dong .. buat nyiapin
    debat ini.. kan aku harus cari kerja juga riz, buat biaya Ujian dan masuk PTN..”
    “Jalani dulu aja “
    Aku terharu senang, akhirnya hujan benar menyampaikan rasaku pada Tuhan dan
    sekelibat doa ayah. Ayah yakinkan aku.. aku akan membanggakanmu dengan tropi-tropiku dan
    aku janji akan masuk perguruan tinggi favorit. Aku kerap kali terfikir, aku sudah banyak
    mengharumkan sekolahku diberbagai ajang perlombaan bertema karya tulis sosial, debat atau
    seni. Aku diiming-imingi beasiswa dan kini ibuku menanyakan beasiswa tersebut. Dan senin
    itu adalah hari terakhir membayar uang ujian nasional. Aku tak menyangka ibuku datang ke
    sekolah dan berbicara dengan nada naik kepada ibu kepala sekolah.
    “Hai bu cahya... dimana janji ibu.., saya ini orang tak punya. Masih diberi janji-janji
    palsu. Anak saya Raina sudah harum dimana-mana janjinya akan digratiskan semua, tapi
    nyatanya.. raina masih saja bekerja les sana-sini untuk biaya sekolahnya..” gertak ibuku
    mengungkapkan isi hatinya.
    “Tenang ibu... baiklah Raina akan saya bebaskan segala biaya sekolahnya” kata bu
    cahya.
    Akupun datang menghampiri ibuku.
    “Ibuk, sudah.. ayo kita pulang, Bu cahya Raina pulang dulu ya izin.. nanti Raina ke
    sekolah lagi belajar buat debat..”
    “Iya nak hati-hati..”
    Di tengah perjalanan ibuku terus saja menggumam.
    “Rain.. beasiswa itu hak kamu. Si Cahya itu sudah janji ini itu”
    “Sudah bu, selama ini Raina juga mngelesi di keponakannya bu cahya semua biaya
    sekoalh juga yang menanggung bu cahya karena aku yang sudah ngelesin keponakannnya,,
    maaf jika Raina tiak pernnah cerita”
    “Jadi cahya itu baik ?”
    “Tentu saja bu..”
    Akhirnya amarah ibuku mereda. Aku harus berkonsentrasi kembali pada materi
    debatku. Meski ini sepele tenteng sosial masyarakat, namun persoalan sering muncul ketika
    dihadapkan dengan variabel yang berbeda. Di tengah sore itu tiba-tiba ponselku berdering,
    ternyata ayahku menelevon, menanyakan bagaimana kabarku, bagaimana sekolahku,
    bagaimana keadaan ibu dan adikku, dan terakhir aku menangis ketika ayahku berusaha sekali
    ingin menyekolahkanku di perguruan tinggi jurusan teknik sipil. Hal ini bertentangan dengan
    prinsip ibuku yang menginginkanku untuk bekerja.
    “Raina.. kamu harus kuliah ya.. ayah inginnya kamu di teknik sipil biar kamu bisa
    kembali menata tatanan pemerintahan agar kebijakan yang buruk dienyahkan diganti dengan
    yang baik, dan kebijakan yang masih baik tetap dipertahankan, Raina kamu jangan nangis ya..
    ayah memberimu nama Raina bukannya ingin kamu seperti tetes air hujan yang sering
    menyembunyikan tangismu didalamnya. Tapi agar kamu dapat menyejukkan hati orang-orang”
    kata ayahku yang aku ingat selalu.
    Hari itu aku mulai, aku akan wujudkan segala keinginan ayahku, jadi sarjana teknik
    sipil. Penata pemerintahan. Jadi ibu presiden sekalian kalu bisa. Aku berhenti memelankan
    suara senggakanku dan menenangkan fikiran sembari menutup televon dari ayah yang jauh di
    Riau.
                Senin, 22 April 2016 adalah waktuku buktikan pada dunia. Pada semua yang pernah
    meragukan bahwa aku bisa, aku mampu dan kuyakini itu. Pagelaran murid IPS Nasional disini
    sangatlah ramai, ya aku terbang ke Jakarta bersama Rizky dan Vino partner debatku. Kuharap
    hari ni adalah hariku. Aku bisa segala soal yang terlontarkan kepadaku. Menit demi menit
    berlalu dan senja pun datang, aku tahu ini terlalu larut untuk berpikir, aku harus terus berusaha
    dan dengan segala ijtihadku, ku debat semuanya, akhirnya sudah waktunya juri mengumumkan
    pemenangnya pada pukul 20.00 wib. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ternyata ayahku menelevon.
    “Halo.. ayah...”
    “Halo ini dengan Raina ?”
    “Iya pak... bapak siapa ya “
    “Ini dengan pak Abdul temennya ayah kamu..”
    “Ealah... lah ayah dimana pak ?”
    “Maaf sebelumnya, saya mau menyampaikan berita duka perihal ayah kamu..”
    “Ayah saya kenapa pak?”
    “Ayah kamu terjatuh saat sedang menambang dan nyawanya sudah tak tertolong lagi”
    Aku tak sanggup mendengar pak Abdul kembali bercerita, rizky datang dan mengambil
    ponselku dan mencoba menenangkanku.
    “Ayahhhku rizkii...” aku menangis keras sampai-sampai di tempat yang ramai riuh itu
    melihatku. Aku tak peduli nyatanya aku hanya ingin menangis dan bertemu ayah.
    “Yasudah besok kita terbang ke Riau, aku temani” kata Rizki.
    Aku berhasil memenangkan perlombaan debat sosiologi Nasional ini, tapi aku gagal
    bersama ayahku didetik terakhir masa hidupnya.
    “Rizki.. aku ingin bertemu ayah.. bagaimana kalo ibuku tahu.. sekarang ibuku sedang
    berada di Surabaya.. aku gabisa rizki tanpa ayah.. tolong besok kita pergi ke Riau”
    “Iya Rina.. besok kita ke Riau sudah yaaaa..”
    Keesokan harinya, aku yang terbang dari Jakarta menuju Riau ditemani Rizki yang
    tanpa sepengetahuan ibuku, aku nekat demi bertemu dengan ayah.
    “Rizki, kapan sampainya aku sudah tidak tenang, apa pak abdul berkata benar tentang
    ayah ?”
    “Rain rain kamu tenang dulu.. sebentar lagi pesawat akan tiba di Riau sudah kamu
    tenang dulu ya..”
                Senja akhirnya menibakanku di Riau, aku langsung menuju ke tempat dimana ayahku
    bekerja. Aku tak tahan melihat bebutuan, lembah batu, tumpukan material, alat-alat berat, alat
    tambang disini. Aku hanya ingin bertemu ayahku. Tiba-tiba pak abdul datang dan
    menghampiriku, dia ingin menunjukkan kuburan di pemakaman yang jauh dari tempat kerja
    ini. Aku menaiki mobil pak abdul dan dibawanya ke pemakan tersebut. Aku kaget sekaligus
    tak percaya. Aku berlari terpenggal-penggal, aku jatuh tersandung batu beberapa kali, aku tetap
    saja menangis, aku pergi ke kuburan baru itu dan terlihat nama ‘Tatang’ di batu nisan. Itu nama
    ayahku, dan akupun menangis deras diatas kuburan itu.
    “Ayah... mengapa cepat kau tinggalkan aku, aku sama sekali tidak bisa menerima
    semua ini yang begitu cepat berlalu, ayah ini tropi untuk ayah.. ini tropi yang ayah inginkan
    dan yang telah aku janjiakan. Maka sekarang ayolah .. ayah bangun.. jangan terlalu lama tidur
    dibawah sana.. ayah aku sebentar lagi juga akan mendaftar kuliah jurusan teknik sipil.. apakah
    ayah tidak mau melihatnya.. ayah ibu, kak riky risa dan rikna rindu sekali pada ayah. Ayo ayah
    kita pulang ke Surabaya, Raina akan membuatkan sup kesukaan ayah “ kataku sambil menangis
    tersedu-sedu.
    “Rain rain tidak baik menangis diatas kuburan seperti ini, biarkan ayah pergi dengan
    tenang, kalau seperti ini ayahmu tidak akan kuat pergi meninggalkan dunia” kata rizki.
    Aku tetap terus saja menangis dan rasanya tak ingin singgah dari sini.
    “Aku hanya ingin ayahku melihat tropi ini rizky..”
    “Iya... ayahmu sudah melihatnya, maka marilah sekarang ayo kita kembali ke mobil
    pak abdul”.
                Aku menuruti segala yang diucapkan rizky. Ruzky dan pak abdul mencoba
    menenangkanku. Hujan deras mengguyur Riau, aku rasanya ingin seminggu disini menjaga
    ayah. Lalu apa yang harus ku katakan kepada ibu, kak riki jika dia pulang, kepada risa dan
    rikna ?. ini begitu sangat berat bagiku. Hujan kuharap engkau tahu betapa sedihnya aku saat
    ini betapa terpukulnya aku betapa tak kuasanya aku di Riau ini. Ayah begitu besa jasamu
    menghidupi kami anak-ankmu. Setelah ini aku berjanji akan memberikanmu tropi-tropi yang
    banyak hanya untuk ayah.
                Hujan ku harap ini yang terakhir, pengabdi khayal sepertiku hanya ingin bertemu ayah
    walau dalam mimpi. Atau tidak berikan aku sedikit ruang kecil hanya aku dan ayah. Akan
    kubawa tropi ku ini untuk kuberikan pada ayah.

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.