Serangan Balik
Oleh : Nurul Munzayanah
Apalagi hendak didengar, semburat api menyeringai menyelisik pada setiap kesempatan. Gurat harapan kian padam didera celotehan para pujangga liar. Mereka yang terus menampar Piyan dengan berbagai hujatan macam tungku api yang menyala-nyala. Semisal disiram dengan tumpahan pembelaan pun percuma saja. Abaikan, anggap tidak pernah ada, hanya suara serangga penggerutu di dalam semak, samar terdengar. Setidaknya itu yang mampu dilakukan Piyan kala mereka berlomba-lomba menghujat gelar sarjana yang kini mengekor di belakang namanya. Gelar itu dipetiknya di salah satu Universitas Negeri di kota. Mengenyahkan diri dari desa dan keluarga selama empat tahun, kini ia kembali lagi dan sampai pada detik dimana gelar itu menjadi pecundang. Pecundang yang terus menyulut para tetangga-tetangga untuk sibuk menerpa hujatan.
Setahun lebih Piyan memperlayangkan surat lamaran pekerjaan, setahun lebih pula ia menanti panggilan yang hanya berujung semu. Gelar sarjana itu tak memberinya sedikit bantuan sama sekali. Pernah suatu ketika lamarannya diterima oleh perusahaan milik pemerintah yang mengharuskan ia untuk menetap di luar kota, namun ditolaknya. Semua itu karena Suliyanti melarang anak semata wayangnya itu untuk meninggalkan desanya lagi. Piyan sendiri pun tak pernah tega jika harus meninggalkan ibunya bergulat dengan hidup sendirian di Rumah. Mengingat, dua tahun silam ayahnya telah pergi ke tempat dimana Tuhan ada. Berbekal ilmu dari pondok pesantren yang ia simbahi pada masa kuliah, Piyan dengan penuh keikhlasan menerima tawaran dari seorang sahabat kecilnya yang belum sempat berkuliah. Asrof, namanya. Pemuda tangguh yang tak mudah menyerah juga baik hati kepada siapa saja.
Asrof menawarkan pekerjaan di sebuah pabrik yang menjadi satu-satunya pabrik industri di desanya. Sempat berat hati pun berat langkah. Lewat segala pertimbangan. Piyan menerima ajakan karibnya yang sudah lebih dulu bekerja di sana itu. Sebuah pabrik industri pengemasan seafood. Berawal dengan pikiran positif bahwa nantinya Piyan akan diterima ditempatkan pada jabatan yang sepadan dengan gelar sarjana yang disandangnya. Tak payah berpikir lebih jauh, kenyataannya Piyan justru dipekerjakan di bidang yang setara dengan Asrof, sebagai pekerja buruh pabrik. Kali ini benar-benar acuh soal gelar sarjana, rasa kekecewaan yang teramat dalam mendera begitu saja sejurus saat seragam biru dongker yang biasa dipakai buruh pabrik meluncur di tangan Piyan. Hatinya mendesah kesal bahkan sempat
menyesal seakan tidak ada gunanya ia selama ini mengenyam pendidikan di perkuliahan, jikalau pada akhirnya sama saja dengan mereka yang tidak berkuliah.
Petunjuk Tuhan masih berpihak pada Piyan lewat Suliyanti. Suliyanti terus menyuapinya dengan berbagai petuah selayaknya kasih orang tua kepada anaknya. Perlahan rasa kekecewaan Piyan mulai pudar. Suliyanti menekankan bahwa tidak boleh ada penyesalan dalam mencari ilmu, setiap muslim diwajibkan mencari ilmu untuk meraih rida Allah, niatnya bukan untuk mencari pekerjaan, tukas Suliyanti. Seklumit kalimat istigfar keluar dari mulut Piyan sejurus ia menundukkan kepala. Piyan agaknya mulai sadar, jiwa putihnya mulai terbuka kembali. Belajar menerima segala sesuatu dengan ikhlas, toh rencana Tuhan pastilah yang terbaik untuk umatnya dan rezeki pun sudah ada yang mengatur, sajaknya dalam hati.
Pagi menyongsong dari arah timur, jam tangan coklat berjarum hitam menunjuk angka enam, Piyan nampaknya telah terkesiap dengan pagi pertamanya ia bekerja. Hanya butuh waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki untuk sampai di pabrik. Sebenarnya naik angkot pun bisa, bila ingin lebih cepat. Namun lari pagi agaknya pilihan yang lebih menyehatkan.
Pabrik terlihat mulai terjamah, para pekerja buruh pabrik mendominasi. Seperti lautan dongker yang mulai membaur pada sarangnya. Diantara mereka pandangan Piyan tersudut pada temannya Asrof, nampaknya ia tengah berjalan bersama lelaki cungkring bertopi yang ia rasa belum pernah dilihat sebelumnya, terlihat akrab dengan Asrof. Mengabaikan itu semua Piyan mempercepat langkah kakinya. Berjabat tangan sekedar melebur keakraban. Piyan pun mulai berkenalan dengan Edo, pria cungkring tadi. Tak lama, mereka bersama masuk ke pabrik.
Empat hari berlalu, terasa sangat lama. Ia tak terbiasa bekerja berjam-jam dan dituntut untuk terus bergerak, tak cukup sulit pekerjaan itu, hanya saja benar-benar membuat otot tegang terkhusus untuknya yang masih pekerja baru. Hari ini tepat hari Jumat, dimana umat muslim laki-laki wajib melaksanakan salat Jumat, mendengarkan khotbah, dan menjalin silaturahmi dengan sesama muslim. Sungguh, hari Jumat adalah hari yang sangat mulia. Tak pelak, Piyan yang selama ini bersimbah ilmu di pondok pesantren sangat antusias menyambut ini. Sebelum jam istirahat bergeming tepat pada waktunya, ia lantas bergegas hendak menuju masjid terdekat. Masjid terdekat dari pabrik kira-kira tiga kilometer. Jika tidak segera meluncur, khawatir akan terlambat. Ia terperanjat sejenak tatkala menemui pegawai pabrik
yang sejatinya juga muslim enggan berbenah bahkan mereka semua tenang-tenang saja, kecuali dirinya.
Jam tepat menunjuk pukul 11.40 WIB. Semua pekerja nampak masih sibuk dengan job masing-masing. Piyan yang sedari tadi berpeluh-peluh akibat pergulatan dalam batinnya, tangannya masih memindai beberapa ikan yang kemudian dikelompokkan di suatu wadah. Namun, mata serta pikirannya melayang dan terlempar kesana-kemari. Sesekali memilah ikan, sedetik lagi mengawasi rekan-rekannya yang lain. Hingga tiba pukul 11.50, batas kesabaran Piyan mulai retak. Istirahat masih sepuluh menit lagi. Ia memutuskan untuk bergegas pergi menyaut sarung bermotif kotak lalu mengikatkan pada pinggangnya, mendesalkan peci putih di batas sarungnya kemudian berlalu dari hiruk pikuknya pabrik. Gejolak amarah sempat memenangi suara hatinya. Sekali lagi ia harus bersabar ria.
Masjid sudah mulai sesak saat Piyan tiba. Adzan kedua sudah terkumandangkan dua menit yang lalu. Sekiranya khutbah pertama akan segera dimulai, Piyan pun hanyut dalam sangkar kekhusyukannya. Selesai sholat yang diikuti do‟a, kira-kira pukul 13.10 WIB. Ia beranjak dari kekhusyukannya yang membuahkan kedamaian hati jauh dari suasana pabrik yang teramat rusuh. Piyan melenyapkan diri dari masjid menuju pabrik, kali ini ia tak sedang ingin buru-buru dan memutuskan untuk berjalan kaki saja. Sambil sesekali merenungkan rekan-rekannya tak terkecuali Asrof yang dulu pernah menjadi teman mengajinya. Kini Asrof juga mulai tidak memperhatikan kewajibannya. Sedikit banyak karena terpengaruh kebiasaan lingkungan disana. Seakan tidak ada satu pun yang peduli.
“Hei, dari mana saja kau, anak baru sudah berani telat. Sekarang jam berapa. Emang pabrik ini punyamu apa,” gertak seorang lelaki berbadan kekar yang tiba-tiba saja menyambar saat Piyan hendak masuk ke dalam pabrik.
“Maaf, saya terlambat. Tadi saya salat Jumat dulu pak,” balas Piyan dengan nada halus karakternya sedikit berharap mendapat pemakluman.
“Hahaha… salat Jumat? Sudah, apapun itu kamu sudah terlambat satu jam.”
“Sekali lagi saya minta maaf, harap dimaklumi pak, saya baru disini,”
“Hemmm…baik, kali ini saya tolerir karena kamu masih baru disini. Tapi kalau sampai terulang lagi, saya akan laporkan kamu ke bagian pimpinan dan kamu akan dipecat, hahah… camkan itu.”
Piyan diam, menyudahi.
Seusai bel tanda selesainya kegiatan pabrik hari ini, Asrof mendatangi karibnya.
“Yan, tadi kata Edo kamu dimarahi keamanan pabrik ya? Kamu mau kabur? Ada apa si yan?” tanya Asrof penasaran.
“Husss… siapa yang mau kabur. Rof sebentar aku tanya..tadi kamu ngga salat Jumat?”
“Hah, kata siapa. Kan wajib. Ya Salatlah, di akhir khotbah kedua aku datang bersama yang lain dan selepas salam aku langsung kembali naik angkot. Kalau tidak begitu bisa kena marah nanti. Tau sendirilah peraturan disini sangat ketat. Pekerjaan tak bisa ditinggal lama. Ya begitulah, sob, yang penting tetap sahkan? Lagian urusan pahala itu bukan urusan kita,” ulas Asrof.
“Tetapi Rof, salat Jumat hanya satu kali sepekan. Memberi kelonggaran waktu beberapa menit hanya untuk sehari dalam sepekan seharusnya bukan hal yang layak dipersulit. Toh sebagian dari kita juga muslim,” Piyan menimpali.
“Kamu benar, kami pun mengharapkan begitu dari dulu Yan. Tapi mana ada yang berani bicara dengan si Toni super kejam itu, bisa-bisa nanti kita dimakan hidup-hidup. Disantap pegawai sepabrik,” keluh Asrof sedikit bergurau.
Piyan hanya diam, dalam hatinya mendesah, benih-benih gejolak amarah mulai tumbuh. Merasa sudah sangat dibatasi. Jumat yang seharusnya menjadi hari penuh kedamaian, menjadi terasa biasa saja jika para pekerja pabrik melakukan hal seperti setiap Jumatnya. Pikiran Piyan kini mulai penuh dengan getar-getir keresahan, seharusnya tidak begini, dia masih baru disana. Entah. Perhatian Piyan kini tak sudut pada apapun. Batu-batu kecil di jalanan serasa mengajak berkelahi. Tangannya refleks menyaut sebuah batu, melemparnya ke sembarang arah, tak sengaja batu itu melejit ke arah sebidang tembok dengan kuat, memental keras disana. Tembok itu seakan memberi perlawanan, ia tak mau dilempari. Membuang lagi si batu. Piyan terhenti langkahnya tiba-tiba, memandangi tembok itu, pandangannya kosong, tapi ada yang dipikirkan. Entah apa.
“Yan, ngapain berhenti, ayo cepat sudah sore!”
“Serangan balik, ya serangan balik,” ucap Piyan refleks, pandanganya masih tak tau arah.
Piyan masih enggan. Asrof berbalik arah dan meraih bahu temannya. Piyan kembali mendapatkan kesadarannya. Mereka pun melanjutkan perjalan di setapak senja itu.
Sepekan berlalu, tiba di hari jumat. Piyan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya jumat lalu. Ia terlambat menuju pabrik. Ketersengajaan yang sememangnya ia inginkan. Kali ini berbeda, Piyan harus menghadap pak Toni, salah satu pimpinan yang kejam kata Asrof beberapa waktu lalu. Langkahnya tak nampak ragu, raut wajahnya biasa saja, seakan tidak sedang akan masuk kandang harimau saat memasuki sebuah ruangan kantor yang berada di lantai dua itu. Ruangannya sangat bersih dan nyaman, tata letaknya indah dan warnanya elegan ditambah lagi dengan dua AC yang menggantung apik membuat ruangan itu benar-benar semakin nyaman. Beberapa menit Piyan duduk hanya memandangi sekeliling ruangan itu tanpa rasa khawatir sedikitpun. Ia merasa tidak salah.
“Ehemmm… ehm..,” terdengar suara deham yang dibuat-dibuat, Piyan membalikkan pandangan.
“Kamu Piyan? Buruh baru yang sudah berani melawan peraturan disini itu?” Tanya lelaki pembuat deham tadi, ternyata dia pak Toni.
“Maaf pak…”, ucap Piyan sedikit agak risih dengan kata „buruh‟.
“Apa katamu? Maaf? Kata macam apa itu, maaf-maaf. Pabrik ini butuh pekerja yang disiplin bukan pemilin waktu macam kau. Ini peringatan terakhir dari kami selaku pimpinan. Jika pekan depan kau mengulangnya lagi jangan harap kami mentolerirnya, memecat kau mudah saja. Telat satu jam, itu bukan telat. Sengaja, kau pasti sengaja.” Suaranya mulai meninggi.
“Ya pak,” sedikit dari Piyan. Membuat Pak Toni malas bergema lagi dengan amarahnya.
Pekan ketiga, hari jumat. Kali ini Piyan melakukan strategi khusus, ia bekerjasama dengan pamannya yang juga seorang juragan angkot. Piyan meminta beberapa angkot pamannya yang biasa lewat jalur masjid dan pabrik sementara diliburkan. Atas permintaan keponakan kesayangannya itu, paman Atok menyetujui. Pada saat para pekerja pabrik hendak kembali tepat setelah selesai salam, mereka tak mendapati angkot yang lewat. Pilihan terakhir adalah berjalan kaki. (Perlu diketahui bahwa pihak pabrik juga melarang pekerja buruhnyauntuk membawa motor, alasannya tidak begitu jelas). Alhasil, jarak membuat mereka semua terlambat berjamaah sampai di pabrik. Sungguh, pemandangan yang teramat dibenci para pimpinan pabrik. Sampai-sampai operasi pabrik saat itu belum dimulai, menunggu para pekerja laki-laki yang sekiranya 30% dari keseluruhan total pekerja. Berdampak pada semua menjadi tertunda, bahkan tidak bisa beroperasi. Piyan hanya tersenyum.
Pak Toni sangat marah, benar-benar dengan suara paraunya ia berteriak,
“Semua masuk, sekarang!!! Sekarang!!!”
Para pekerja hanya diam, menundukkan kepala lalu menuju bagiannya masing-masing. Semua tercengang keheranan. Tak ada sepatah kata lagi selain disuruh masuk. Pak Toni pun enggan memusatkan perhatian pada Piyan yang sedari tadi berani melepaskan senyum seenaknya. Ada apa dengan pak Toni, hanya ada dua pilihan, antara marah dan sangat marah. Beberapa menit setelahnya, sebuah amplop putih polos tertera nama "Sofiyan Ahmad" meluncur di tangan Piyan, amplop itu untuknya. Perlahan ia buka, ternyata kertas. Bukan uang. Jelasnya sebuah surat yang menyatakan bahwa Piyan atau Sofiyan Ahmad diputuskan dari hubungan kerja dengan pabrik. Piyan masih diperbolehkan bekerja sampai Kamis depan saja selagi pihak pabrik mencari pekerja pengganti. Benang merah ditarik panjang, bahwa mulai Jumat depan tidak boleh ada wajah Piyan lagi di lingkungan pabrik.
Piyan tertawa hampir terbahak-bahak, sedikit ditahan. Ia justru senang mendapat surat tersebut. Kemudian dibalaslah surat itu olehnya, dengan membubuhkan dua kata "Serangan Balik" di setiap akhir kalimat yang ia tulis.
Hari itu hari Kamis dan hari terakhir Piyan bekerja di pabrik. Beberapa dari rekannya mulai meminta berjabat tangan dan memberi beberapa untaian kata semangat. Piyan membalas dengan pelukan gaya lelaki yang menabrakkan bahunya sedikit keras. Kemudian berbisik, "Pertahankan keterlambatanmu pada Jumat esok hari, Seranglah balik kawan! Pintaku terakhir." Bisikan itu sedetik membuat masing-masing dari mereka tercengang kebingungan namun jelas memberi penekanan kuat. Terkhusus Asrof, kepadanya ia tidak berbisik melainkan secara terang Piyan meminta karibnya itu untuk memimpin keterlambatan yang direncana esok hari. "Tidak akan terjadi apapun, percayalah Sob," ucap Piyan mencoba meyakinkan.
Jumat berkah, penuh keberkahan. Jangan ada yang merusaknya. Seakan kalimat itulah yang sedang bergema di hati para pekerja pabrik kala itu. Mereka bersama-sama
memanfaatkan waktu Jumat itu dengan selengangnya. Tak ada yang boleh mengganggu setelah salam, membiarkan diri untuk menjalin hubungan lebih dengan Tuhan. Ya, semuanya mengikuti saran Piyan. Hubungan dengan Tuhan jauh lebih penting dari hubungan dengan atasan. Hem.. Membuat kedamaian hati.
Di waktu yang sama, lain tempat. Para pimpinan pabrik mulai resah kebingungan. Mereka merasa mendapat penekanan balik. Jika seperti ini terus, sistem pengoperasian pabrik akan terhambat. Target yang dipenuhi bisa saja tidak akan tercapai.
"Benar-benar mengganggu ini pak, apa yang harus kita lakukan? Pemotongan gaji akan membuat mereka unjuk rasa, pemecatan kepada mereka semua tentu suatu hal yang tidak dimungkinkan. Tak bisa dipungkiri kita butuh mereka pak. Mereka berjumlah banyak. Bisa-bisa pabrik dirobohkan kalau mereka semua menyatukan amarahnya, lalu bagaimana!" ujar pak Toni kepada pimpinannya, pak Adi. Ia adalah pimpinan tertinggi sekaligus pemilik penuh atas pabrik itu.
"Panggil Piyan kesini sekarang!" Tukas pak Adi yang sedari tadi menahan secarik kertas di tangannya.
Para pekerja telah kembali dari rumah suci kepunyaan illahi. Raut wajahnya terlihat berseri, menandai kedamaian hati karena merasa utuh di hari Jumat ini. Mereka dikumpulkan di pelataran samping pabrik. Ada juga pak Toni, pak Adi, tak lupa dengan Piyan. Tidak ada yang tahu apa maksud dari semua ini sebelum pak Adi berbicara.
Pak Adi menyampaikan bahwa pihak pabrik akan segera membangun masjid tepat di samping kanan pabrik. Setidaknya mutualisme antara pihak pabrik dan para pekerja telah tercipta. Solusi ini adalah ide dari si penyerang balik itu, lewat suratnya. Surat yang ditulis Piyan tempo hari. Lanjut pak Adi memberi balasan surat dari Piyan hari ini. Diserahkannya seclarik kertas, surat itu tentang kenaikan jabatan untuk Piyan. Manajemen keuangan pabrik, sesuai dengan sarjana akuntansi yang disandangnya. Sempat terperanjat seluruh yang hadir pada saat itu. Seperti tidak percaya bahwa rencana besar Piyan menyerang balik benar-benar berhasil memasukkan umpan ke gawang lawan dengan tepat. Ya, Goal emas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar