• Kakak, Aku Titip Permata-permataku


    Kakak, Aku Titip Permata-permataku

         
           Hembusan angin malam dan kerlap-kerlipnya sinar kecil dari langit membuat malamku semakin hening menemani diri ini yang duduk terpaku di serambi rumah, merasa bersyukur mempunyai hal yang terindah yaitu keluargaku. Dari dalam rumah terdengar suara.
    “Gendis…ngapain di luar? Masuk gih, di luar dingin.”
    Ya, itu ibuku. Memanggil nama pendekku Gendis, sedangkan nama panjangku Gendiiiiiisssss. Hehe, memang nama pendekku sama dengan nama panjangku.
    “Iya Bu.”

            Jawabku singkat menuruti perintah ibu. Lalu tanpa ragu aku masuk ke rumahku yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, lantainya berupa tanah yang diambil dari pinggir kali. Lalu atapnya dari genteng berwarna merah kehitaman karena sering terkena asap bediang. Ya, bediang adalah menyalakan api namun banyak asapnya untuk membakar sampah di dalam rumah. Biasanya untuk keperluan hewan peliharaan khususnya sapi.
    “Duorrr… ngalamun apa coba? Malam-malam kok ngalamun, malam-malam ya tidur di kamar, di atas kasur yang empuk, terus mimpi-in kakak yang ganteng ini. Hehe,” teriak kakakku Ilham ke arahku di saat jeda iklan tengah mengganggu acara mereka.
    “Ngapain mimpi-in Kakak, mending mimpi-in sapi di kandang!” ledekku kepada kakak.
    “Enak aja aku disama-samain dengan sapi, ya lebih keren aku lah,” balas kakak seperti nggak terima dengan ledekanku.
    “Sudah…Sudah… Kalian kok malah berantem,” lerai ibu kepada kami yang semakin berisik.
    “Emang nggak sama lah, lha wong lebih putihan sapinya, hahaha. Kabuuuurrrr…”
    Aku langsung menuju ke kamarku seakan takut kalau kakak akan mengejar dan marah.
    “Awas kamu ya...” ancam kakak sambil sedikit bercanda.
    ***

             Aku masih anak sekolah yang baru duduk di bangku kelas XI SMA favorit di kota Serok atau biasa disebut SMAROK sejauh 5 km dari kampungku. Aku selalu berangkat sekolah bersama teman baikku bernama Malika.
    “Tet..tet..” eitz… bukan suara bel lho, tapi suara klakson motornya Malika. Aku selalu dibonceng Malika dengan motornya yang nama motornya itu mirip temannya beta itu tuh. Iya, betul sekali yaitu alfa. Emang sengaja atau nggak, padahal dia itu anaknya kepala kampung kami. Tapi dia itu tidak mau memperlihatkan kalau Momo itu anak orang berada. Momo adalah panggilan sayangku kepada sahabatku itu.
    “Ih.. kok kamu mau sih Ka, temenan sama anak tukang gethuk ini. Terus mau aja gitu jadi tukang ojek gratisnya dia. Hahaha. Padahal kamu kan anak orang kaya,” ledek temanku Rere dan Sela kepadaku yang baru tiba di parkiran seakan mereka tak mau berhenti untuk menghinaku.
    “Memangnya kenapa kalau dia anak tukang gethuk? Apa kamu nggak suka gethuk? Apa kamu pernah dilempari gethuk? Sampai kau menyalahkan gethuknya? Bukankah gethuk itu makanan tradisional yang harus kita lestarikan? Betul tidak? Hahaha. Aku berteman karena aku sayang sama dia seperti saudaraku. Apakah sayang itu harus memandang dia miskin atau kaya? Nggak kan? Percuma, ngomong sama kalian yang nggak tahu arti persahabatan sama sekali,” jawab Momo dengan tegas dan lancar.
    “Makasih ya Mo!”
    “Makasih untuk apa sih Dis?”
    “Untuk tadi ah, waktu kamu belain aku. Aku terharu tahu.”
    “Aku nggak butuh makasih darimu Dis.”
    “emh…“
    “Kamu kenapa sahabatku? Aku memang nggak butuh makasihmu, karena aku nggak ngasih apa-apa ke kamu. Aku cuma pengen menjaga sahabatku karena aku menyayangi sahabatku, nggak lebih dari itu.”
    “Terima kasih ya. Eh, nggak jadi deh, kamu nggak butuh makasihku eg. Tapi aku pengen meluk kamu sahabatku.”
    Sungguh, Momo bagaikan permata kedua setelah keluargaku.
    Dan di saat lonceng sekolah berdentang dengan kencangnya, seluruh siswa berhamburan keluar kelas bak gerombolan semut yang ingin pindah sarang. Tak ketinggalan aku yang mengajak Momo alias Malika untuk pertama kalinya main ke gubuk kecil keluargaku yang kuanggap sebagai istana.
    “Tok..tok..tok.. Assalamu’alaikum,” kataku sambil mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
    Kenapa tiga kali? Karena itu sunnah. Kenapa itu sunnah? Karena Allah suka dengan sesuatu yang ganjil. Kenapa bisa begitu? Nah, kalau itu aku kurang tahu, coba tanya ke pak ustad, soalnya aku bukan ustad. Oh ya, lama bener buka pintunya.
    “Assalamu’alaikum, ini Gendis, Bu.”
    “Wa’alaikumsalam… iya,” sahut Ibu dari dapur yang mungkin sedang masak lalu membukakan pintu.
    “Cring…“ kataku sok memberi kejutan.
    “Lho… siapa ini? Kok Ibu sepertinya kenal!”
    “Ya iyalah Bu, ini kan anak kepala kampung Caping ini,” jelasku.
    “Kenapa kamu ajak ke rumah yang jelek ini? Nanti kalau kamu dimarahi Ibunya!”
    “Nggak papa kok Bu.. bagiku rumah ini nggak jelek.” Kata Momo yang ingin meyakinkan Ibu.
    “Ibu, kok sepi sih?” tanyaku kepada ibu karena suasana rumah sunyi, sepi, hening, dan tidak ada orang kecuali ibu yang sedang asyik bercengkerama dengan wajannya yang baru berumur dua jam yang lalu.
    “Kakakmu sejak pulang dari merantau seminggu yang lalu sering keluar jalan-jalan sama temannya. Ibu nggak tahu kemana. Kalau bapakmu belum pulang dari sawah. Sana gih, Malika diajak makan dulu ke dalam.”
    “Iya bu,” jawabku dengan singkat.
    Tiba-tiba..
    “Duorrrr….”
    “Kak. Matanya itu lho dijaga,” ucapku merusak keheningan.
    “Hus, jangan gitu. Ayo makan Ham, nih sama adikmu dan temannya, Malika. Tapi sana mandi dulu,” bela ibu kepada kakak. Kakak langsung ke kamar dan mandi.
    “Lha Kak Ilham ngliat Momo sampai gitu sih,” balasku ke ibu karena tak terima kakak dibela ibu. Memang nggak salah sih, banyak lelaki yang suka pada Momo. Karena ia cantik, namun kalau soal manis, masih manisan aku. Hehe, namanya juga Gendis yang artinya gula, gula kan manis. Momo juga berperawakan tinggi, karena ia lebih tinggi 2 cm dariku yang mempunyai tinggi 156 cm. Rambutnya yang hitam dan panjang terurai menambah ayu di wajahnya. Tak aneh jika di sekolah ia jadi Miss SMAROK.
    ***

                 Ketika aku duduk di depan rumah, kakak menghampiriku berharap kakak akan mengakrabkan diri kepadaku setelah akhir-akhir ini jarang bersama karena ia sering pergi.
    “Dis, temanmu itu namanya Malika? Kakak sepertinya suka dengannya. comblangin dengan Kak Ilham ya Dis?”
    Tanya Kak Ilham seakan ingin tahu karena Ia jarang di rumah. Ia kerja merantau di luar kota dan hanya seminggu di rumah. Tiga hari sudah berlalu dan ia akan pergi kerja kembali setelah liburnya berakhir.
    “Oh, cuma tanya itu. Iya namanya Malika tapi, aku sering panggil dia dengan sebutan Momo. Ia anak kepala kampung ini,” jelasku.
    “Plizz Dis..”
    “Iya deh,” jawabku karena tak tega kepada Kakak.
    Aku tahu kakak orangnya pendiam, baru pertama kali ia kenal cewek langsung suka. Soalnya ia sulit untuk jatuh cinta. Bahkan ini cinta pertamanya. Aku pun tak tega untuk menolak permintaan tolongnya.

              Setelah kakak masuk ke dalam rumah dan tidur, aku baru ingat kalau Momo sudah punya pacar anak kuliahan. Aku bingung karena aku tak mau merusak harapan seorang kakak yang paling aku sayang, terhadap cinta pertamanya. Namun di sisi lain, aku tak mau merusak hubungan sahabat yang paling aku sayang dengan kekasihnya. Tiba-tiba ibu datang menghampiriku.
    “Nduk.. kamu kan cewek, mbok yo ngalah sama kakakmu. Kakakmu nggak seperti kamu. Dia orangnya pendiam, kalau dia minta sesuatu ya diturutin. Kata kakakmu tadi siang kamu disuruh beli es tapi kamu nggak mau?” Entah kenapa tiba-tiba ibu bicara seperti itu.
    “Bukan gitu Bu, tapi tadi siang aku cape’, di sekolah kegiatan banyak.”
    “Gini lho Dis, kakakmu juga jarang di rumah karena kerja, paling setahun pulang cuma dua kali. Ia kan juga kerja buat bantu Ibu dan Bapak bayar sekolah kamu.”
    “Iya bu,” jawabku dengan nada paling rendah.
    Aku semakin bingung karena ucapan Ibu itu. Aku tak tahu harus bagaimana. Karena aku tak mungkin bilang tentang kak Ilham yang suka kepada Momo, karena nggak boleh sampai ada yang tahu. Aku bak buah simalakama yang memang harus mengorbankan salah satu dari hal yang berharga bagiku. Aku sayang keduanya. Aku sayang kakak dan ibu, namun aku juga tak mau kehilangan Momo.
    ***
    “Kak. Bangun Kak, jogging yuk.”
    “Ogah, mending tidur. Jangan bicara denganku!! Sampai kamu sudah mendekatkan aku dengan Malika!” tolak kakak sambil menarik selimutnya lagi.
    Aku lari sendiri di bawah langit yang masih bersih, dan dihiasi garis sinar dari ufuk timur sambil berfikir bagaimana mendekatkan kakak dengan Momo.
    “Hai Dis…”, sapa Momo kepadaku yang memecah lamunanku.
    “Eh, hai juga Mo, bikin kaget aja.”
    “Lagi mikirin apa sih? Mikirin aku ya?”
    “Bukan apa-apa kok Mo. Oh ya, kamu nanti siang ada acara nggak?”
    “Memangnya kenapa Dis?”
    “Nggak papa kok, cuma pengen ngajak makan bakso bareng aja.”
    “Owh, tumben nih. Jarang-jarang kamu ngajak makan bakso bareng. Boleh, apa sih yang nggak buat sahabat?” jawab Momo yang meng-iya-kan tawaranku.
    “Tunggu aku ya Mo, di warung dekat pasar jam dua nanti siang.”
    “Oke, siap Gendis yang manis!” kata Momo dengan semangat sambil mencubit kedua pipiku yang agak tembem.
    Aku dibuat cemas dengan keputusanku sendiri. Tapi aku mencoba berfikir tenang. Aku mencari kakak, ternyata ia berada di belakang rumah membantu ibu mengambil ketela untuk dibuat gethuk.
    “Kak, nanti siang aku meminta Momo ke warung bakso dekat pasar jam dua. Kamu jam dua lebih sepuluh menit ke sana ya.” Bisikku ke telinga kakak agar tak terdengar oleh ibu.
    “Oke. Makasih ya Gendis,” jawab kakak kegirangan pergi ke kamar.
    Aku tersenyum melihat tingkah aneh kakakku yang baru merasakan cinta. Namun di sisi lain aku juga sedih harus mengorbankan sahabatku.
    ***
                 Sejak jam setengah satu aku mondar-mandir seperti setrika yang nggak panas-panas. Namun beda denganku yang sudah panas dingin di kamar memikirkan bagaimana kalau Momo tahu jika aku merencanakan semua ini.. Ternyata di sana sudah ada Momo yang duduk di kursi berwarna kuning karena memang catnya berwarna kuning, bukan hitam.
    “Mo, kamu sudah lama nunggunya?” tanyaku kepada Momo dengan gugup.
    “Nih.. aku juga baru sampai, kenapa kamu gugup? tanya Momo yang agak aneh dengan sikapku.
    “Aku nggak papa kok Mo. Kamu pesan dulu gih baksonya dua, aku ijin ke belakang dulu nggak papa ya?” elakku karena melihat jam di hp sorot peninggalan kakekku yang sudah menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit. Aku tahu kak Ilham sebentar lagi akan datang. Maka dari itu aku tak menampakkan diri agar mereka dapat berdua sesuai permintaan kakakku.
    Sesuai dengan perkiraanku, kakak datang dengan berjalan kaki karena jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Ia rapi sekali bagaikan orang yang bekerja di pabrik-pabrik, bukan kantor. Ia terlihat sangat tampan menggunakan kemeja hitamnya dengan bercelana jeans berwarna abu-abu monyet. Rambutnya pun dibasahi dengan minyak rambut bagaikan anggota boyband walaupun sepertinya ia akan dikeluarkan dari groupnya karena suaranya fals. Lalu ia dengan gagahnya duduk di depan Momo yang sedang minum es teh manis yang manisnya nggak bakalan ngalahin manisnya aku.
    “Hai Mo.. Eh Malika!” sapa kak Ilham.
    “Lho, kok kamu tahu nama panggilan sayang Gendis ke aku? Dan kok kamu bisa duduk di sini tanpa permisi dulu? Bukannya kamu kakaknya Gendis ya?” tanya Malika yang bertubi-tubi kepada kak Ilham karena bingung dan curiga.
    “Kalau tanya satu-satu ah Ka. Apa Gendis tidak bilang kalau kamu mau dicomblangin sama aku?” jawab kak Ilham dengan lugunya.
    “Apa-apaan ini. Aku sudah punya pacar! Apa Gendis tidak bilang ke Kak Ilham? Main jodoh-jodohin. Dikira mainan, apa?” bentak Malika dengan memukul meja seakan tak terima dengan caraku hingga pandangan mata para pembeli lainnya hanya tertuju pada dua insan tersebut.
    Lalu aku perlahan mencoba menemui Momo dan Kak Ilham yang sedang ribut di tengah keramaian warung. Tiba-tiba.
    “Apa maksudmu Dis, main jodoh-jodohin aku dengan kakakmu ini. Aku sudah punya pacar. Bukankah kamu juga sudah tahu itu? Kamu kira aku apaan? Kamu kira hatiku juga apaan?”
    “Bukan gitu Mo, ta…ta…pi.”
    “Stop!! Jangan panggil aku Momo lagi. Aku bukan Momomu. Aku Malika.”
    “Malika sahabatku…maafin aku.”
    “Sahabat nggak akan ngorbanin sahabatnya sendiri seperrtimu!”
    “Malika, kekasihku. Kamu jangan salah paham dengan Gendis sahabatmu itu yang telah menganggap kamu sebagai permata keduanya,” kalimat pertama yang keluar dari mulut kak Rehan.
    “Aku nggak salah paham Mas, tapi dia malah menjodohkan kekasihmu ini dengan kakaknya,” balas Malika menegaskan.
    “Gini lho Ka, Gendis itu menyuruh kakaknya ke sini karena kakaknya suka kepadamu. Ibunya Gendis menyuruh Gendis menuruti apa yang diminta ibunya karena ia tahu kalau ibunya lebih sayang kepada Ilham kakaknya daripada kepada Gendis. Karena Ia sayang kepada ibunya dan ia juga sayang kepada kakaknya ini, Gendis mau mempertemukan kamu dengan Ilham, walaupun ia juga nggak mau menyakitimu.”
    “Tapi itu sama saja Gendis tidak menghargai hubungan kita Mas Re!!”
    “Dengarkan dulu, dia sebelumnya sudah bicara kepadaku. Aku membolehkan, asal kakakmu tidak aneh-aneh dan itu hanya selama Ilham berada di rumah yang bersisa hanya tiga hari.”
    “Tapi gimana kalau aku jadian sama kak Ilham, apa kamu tidak takut?
    “Aku percaya sama kamu, kamu nggak akan menghianati janji kita.”
    “Owh.. tapi kenapa Gendis nggak pernah cerita soal keluarganya ya?”
    Kak Ilham matanya berkaca-kaca mendengar perkataan kak Rehan. Ia lari mengejarku hingga berada di belakangku. Karena aku takut Kak Ilham akan memarahiku, aku lari dan
    menyebrang jalan tanpa melihat kendaraan berlalu lalang dengan ramainya. Aku tak peduli, namun tiba-tiba aku tertabrak sepeda motor matic yang melaju dengan kencangnya dari arah belakang. Orang yang menabrakku tak mau ambil resiko, ia melarikan diri dari tempat kejadian. Aku setengah tak sadarkan diri melihat darah dari kepalaku berceceran di sekitarku bagaikan cat merah yang tumpah tak terurus. Aku dikerumuni banyak orang yang ingin ataupun akan menolongku atau tidak. Tapi seorang laki-laki menyerobot masuk menembus kerumunan.
    “Gendis….”
    “Ka…ka…ka…ka…k.”
    “Maafin aku Dis, aku tak tahu tentang pengorbanan hatimu kepada kakak, karena Ibu lebih sayang kepadaku. Maaf, aku juga membuatmu bertengkar dengan Momo, aku membuatmu seperti ini. Maafkan aku adikku… aku nggak pantas jadi kakakmu.”
    “Adik? Aku terharu mendengar kakak memanggilku dengan sebutan itu.”
    “Iya, kamu Adikku,” jawab kakak sambil berlinangan air mata hingga tetesan air matanya menetes di wajahku.
    “Aku merindukan kata itu Kak, aku pengen banget dipanggil “ADIK” oleh kakak yang paling aku sayang. Kakak jangan nangis, aku nggak mau melihat kakak nangis. Aku sayang kakak.”
    “Kamu harus kuat dik… kakak akan bawa kamu ke rumah sakit.” Dengan keyakinannya kakak merobek kemeja hitam kesayangannya untuk diikatkan ke kepalaku yang berceceran darah karena terbentur aspal. Tak peduli kemeja itu adalah satu-satunya kemeja yang ia punya pemberian ibu saat ia lulus SMA dua tahun yang lalu.
    “Nggak usah ke rumah sakit kak, aku nggak papa. Kak.”
    Ibu, Bapak, Momo dan Kak Rehan yang mendengar kabar tentang keadaanku saat ini, langsung pergi dan berada di sekelilingku. Mereka menangisiku seakan menangisi orang yang akan pergi lama dan jauh.
    “Dan untukmu Kakakku. Maafkan Adikmu ini yang belum sempat membuatmu bangga karenaku. Jaga dirimu baik-baik Kak, kamu juga permataku. Kalian semua adalah permata yang membuat hidupku lebih berharga. Aku sayang kalian. Aku pengen untuk yang
    terakhir kalinya aku mendengar kata “ADIK “ darimu Kak.
    “Iya, Adik. Adik harus kuat. Adik… Aku sayang Adik.”
    “Aku sayang kalian..” ucapku.
    Tubuhku terasa semakin lemas mataku seakan ingin terpejam, hatiku terasa damai, namun dadaku terasa sesak tak bisa bernafas dan hingga jantungku tak mampu berdetak lagi.
    “GENDIIIISSSS…” ~

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.