Di Bawah Cahaya Rembulan
Oleh : Nur
Aenatul Khoria
Hembusan
angin bersiul merdu merasuk menyusupi sepanjang aliran darah. Ilalang – ilalang
menari-nari dalam buaian mesra alunan ritme desir angin yang menerpa. Gemercik
air mengalir deras membentuk irama musik klasik dalam kesyahduan. Kerlap kerlip
bintang menghiasi langit bertaburan penuh warna. Sang penerang malam pun ikut
meramaikan suasana kebahagiaan dalam gelora rindu. Saat ini tepat rembulan
purnama tengah menguasai jagat malam. Aku pun turut hadir dalam drama musikal
alami ini. Bahkan, tak pernah absen untuk selalu duduk termangu diatas batu
basar di pojok halaman rumah.
Entah
mengapa???. Pandangan mata ini tak kunjung bosan menikmati suasana pertunjukan
alam semesta yang begitu megah. Grup orchestra ala ocehan katak bersautan silih
berganti menunjukkan aksinya. Di tambah, segerombolan kunang-kunang berlaga
pamer dengan gemerlip sorot cahayanya, yang sok berperan sebagai lighting dalam
suatu pergelaran pentas besar. Inilah ketenangan. Lelahku terbayar lunas dengan
suasana ini. Kebahagiaan memang tak selamanya dibayar dengan harga mahal. Yaa
memang benar, alam semestalah yang mampu membuat senyumku terbelalak lebar.
Seberapa banyak uang yang kita miliki tak akan mampu membayar keindahan yang
telah Tuhan berikan melalui alam seisinya. Semua hal yang berbau duniawi pun
tidak akan kekal selamanya. Justru kefanaan yang selalu mengintai. Dan bagian
aktivitas terakhirku sebelum menjelang tidur, memanfaatkan waktu luang untuk
berbenah diri memandangi setiap tingkah yang telah berlalu.
Setelah
lelah mengikis keringat, karena padatnya aktivitas seharian bersama setumpuk
masalah klien yang tak kunjung mereda. Aku selalu menghabiskan malamku dengan
duduk santai di bawah sinar rembulan, sekedar untuk mengendorkan pikiran
sejenak. Aku tinggal di kawasan perumahan elit tengah kota. Meski tergolong
hunian perumahan elit, namun type hunian yang ditonjolkan mengusung nuansa“Natural
Green House”. Hal ini dibuktikan dengan kondisi
lingkungan
yang dirancang layaknya suasana pedesaan yang asri. Di seberang jalan terdapat
sungai kecil yang airnya mengalir jenih yang dikelilingi rerumputan ilalang dan
aneka macam bunga. Di depannya lagi terdapat sawah yang membentang hijau
terlihat asri nan elok dalam pandangan. Sedangkan letak rumah disusun berderet
memanjang menghadap ke sungai dan sawah yang di batasi dengan jalan beraspal
sebagai lalu lalang mobil maupun kendaraan warga sekompleks. Rumahku terletak
paling ujung, Blok A nomer 10.
Memang, aku
tergolong orang yang sangat membenci hiruk pikuk keramaian metropolitan yang
serba ramai. Di samping padatnya lalu lintas perkotaan yang banyak tercemar
polusi, tuntutan pekerjaan juga menjadi faktor utama. Aku harus menetap di kota
besar yang sesak dengan polusi udara. Jadi, jelas inilah alasanku untuk memilih
lokasi rumah yang stategis di tengah kota namun masih bernuansa alami dan asri.
Disinilah aku berteduh. Menghabiskan sisa-sisa perjuanganku bersama Mamak dan
Bapak. Menyusuri alur cerita yang telah menghantarkan diriku ini pada titik
puncak kebahagiaan. Puncak perayaan dari angan-angan masa lalu. Menghasilkan
kerja keras dan semangat yang tersusun rapi dalam bingkai merajut asa, hingga
sampai di pintu gerbang masa depan yang gemilang.
Di bawah
cahaya bulan purnama yang terang aku selalu bersandar dan berkeluh kesah.
Seakan percaya dan tanpa menaruh curiga aku menceritakan semua hal yang aku
alami setiap hari. Tak sedikitpun, rembulan itu menunjukkan penolakan. Justru
malah nampak tersenyum penuh kepasrahan. Tatapan mantap ditunjukkan dengan
sinarnya yang semakin benderang, meyakinkanku bahwa dia tengah mendengarkan
kisahku yang penuh corak. Aku memang berbeda dari orang biasanya. Jika banyak
orang menceritakan kejadian yang dialaminya lewat buku diary. Tetapi hal itu
tak berlaku untukku. Rembulan selalu menjadi teman setiaku dalam berbagai rasa.
Walaupun hanya terlihat secelarit untaian benang, ia tetap menyapaku dalam
keheningan malam.
Malam ini,
memori dalam otakku terasa sesak. Teringat perjalanan panjang yang terlukis
indah terbawa arus waktu. Aku menyusuri setiap langkah dan perjuanganku
tempo dulu. Masa- masa suka duka dalam ratapan kepiluan. Semakin dalam aku
terjun dalam lembah masa lalu. Maka makin deras pula tetesan air mata ini keluar
dari pelupuk mata. Mana mau orang dekat denganku, melihatku saja enggan. Baju
yang lungsut dan kucal menghiasi parasku yang polos. Rumah reot beralaskan
tanah menjadi tempat sandaran. Bapak hanya seorang pedagang jalanan keliling
yang memikul dua tumpukan beban jajanan di pundaknya. Sedangkan ibu, ia hanya
seorang ibu rumah tangga yang selalu bergelut dengan perabot rumah. Eee, bukan
perabot rumah, lebih tepatnya peralatan rongsok yang masih setia dipakai mamak
untuk memasak. Tak ada barang mahal di rumahku. Hanya ada barang-barang yang
sudah berwarna kecoklatan yang warna aslinya luntur akibat karat. Nasi dan
garam menemani perut yang kosong setiap hari.
Zara memang
selalu dipandang sebelah mata. Ia hanya anak seorang yang miskin. Semua
temannya merupakan anak orang yang berpangkat. Hanya ada rengekan dan rengekan
setiap hari. “Mamak, Zara mau main???”, pinta Zara dengan penuh harap. Mamak
hanya terdiam tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Gelengan kepala pun
mewakili jawaban Mamak. Aku hanya terdiam. Mamak segera menyodorkan buku bekas
dan pensil yang panjangnya hanya sepanjang jari kelingking kepadaku. Dengan
penuh ketelatenan Mamak mendamingiku belajar mengenal huruf abjad dan mengaji.
Ya, memang membosankan hari-hariku ini. Hanya itu-itu dan itu lagi. Mamak tak
pernah menegaskan alasan mengapa Zara tidak boleh main.
Suatu
ketika, anak seorang insinyur terkaya di kampung berulang tahun. Dan kali ini
Zara sangat senang sekali karena baru kali pertama ia diundang dalam pesta.
Dalam benaknya terbesit banyak khayalan. “ Wah nanti, aku bisa punya banyak
teman, pasti disana banyak makanan, emm pasti enak- enak”, pikir Zara dalam
hati. Hari itu, Zara dengan binar wajah yang penuh semangat, segera bergegas
meminta mamak menyiapkan baju terbagusnya. Baju andalan Zara yang dibelikan
kakeknya pada lebaran tiga tahun lalu. Iya itu, gaun pink yang sebagian
rendanya sudah dimakan tikus. Mamak sudah menyiapkan kado untuk si anak
insinyur itu. Sebuah buku tulis yang dibungkus rapi dengan sampul warna coklat,siap dibawa
Zara sebagai hadiah. Mamak berniat mengantarku bergegas menuju tempat acara
ulang tahun berlangsung. Wajah riang penuh gembira menghiasi tingkahku.
Tepat di
depan rumah, Zara dan Mamak menghentikan langkah. Mata Mamak tertuju pada
segerombolan anak yang berbondong-bondong di ujung jalan sana. Nampaknya mereka
juga akan menghadiri pesta ulang tahun Saras si anak insinyur. Mereka terlihat
amat cantik dengan gaun yang dikenakannya. Wajahnya penuh rias sangat cantik
melebih cantiknya kisah puteri dalam negeri dongeng. Kakinya pun berhiaskan
sepatu kaca yang indah, berbeda dengan Zara yang hanya mengenakan sandal jepit.
Mamak menunggu sampai gerombolan anak itu lewat di depan rumah dan berniatan
ingin menitipkanku agar bisa berangkat bersama mereka. Zara semakin bergairah
penuh rona kebahagiaan. Namun, tak selang waktu lama grombolan anak itu telah
persis di depan Zara dan Mamak. Mereka acuh tak acuh tanpa menghiraukan sautan
Mamak. Justru mereka malah lari terbirit-birit meninggalkan kami. Sontak semua
harapan dan khayalan yang diimpi-impikan Zara sirna ditelan bumi. Zara tak
mampu menahan bendungan air mata yang jebol dari matanya. Kucuran air mata Zara
menetes serasa tak akan pernah habis. Kata-kata ejekan mereka terngiang-ngiang
di telinga Zara. “Kita gak selevel sama kalian, ayoo lari mereka bau busuk”,
kata salah seorang anak dari mereka. Dengan penuh kasih sayang Mamak segera
memeluk tubuh mungil Zara sambil meneteskan rintikan air yang tak sengaja
keluar dari pelupuk matanya. Mamak meredam tangis Zara dengan mengatakan,
“Sudah- sudah, sayang Mamak tak boleh cengeng, nanti Zara di antar sama Mamak
saja yah nak??”. Kata- kata lembut yang keluar dari mulut Mamak selalu membawa
kepercayaan dan ketenangan dalam diri Zara.
Sekarang aku
tahu alasan Mamak melarangku untuk tidak bermain di luar lingkungan rumah.
Mereka anak- anak para pemilik pangkat hanya mau berkawan dengan sederajatnya
saja. Acuh dan congkak menghiasi hati anak konglomerat. Saat itu, hatiku terasa
hancur lebur dalam ketidakberdayaan. Aku mengingat betul peristiwa itu, umurku
masih 3 tahun. Namun aku amat memahami kondisi sosial yang terjadi dilingkungan
rumahku kala itu. Dimana yang berkuasa mampu
membeli
kesalahan menjadi suatu kebenaran hanya dengan setumpuk uang. Yang lemah
semakin tertindas, yang kuat terus terbang ke awang-awang dengan bebas. Gerutu
menjadi selimut dalam hati dan fikiranku. Aku ditolak mentah-mentah oleh
mereka, karena aku hanya berada pada kasta yang paling rendah diantara mereka.
Apakah status pertemanan hanya dinilai melalui status sosial???. Jika iya.
Maka, inilah letak kehancuran nilai-nilai moral. Karena teori hanya
digembar-gemborkan saja tanpa adanya praktek yang mengikat. Lantas dimana letak
kemanusiaan yang adil dan beradab di berlakukan. Jika Si Kaya hanya bergaul
dengan Si Kaya saja, sedang Si Miskin semakin terpuruk dalam mimpi buruknya,
maka dimana letak kesejahteraan yang adil dan beradab itu bertempat.
Sejak itu,
aku menyimpan dalam-dalam rasa kesedihanku. Hanya ada satu niat, tekad dan
tujuan yang harus aku perjuangkan untuk merubah nasib. Tak akan pernah aku
sia-siakan kerja keras kedua orang tuaku. Akan aku arungi lautan samudera demi
mereka, kedua permata duniaku. Walau tak tamat sekolah dasar, namun hatinya
suci, bersih dan tulus. Harapan mereka hanya ingin melihat buah hatinya
mendapatkan pendidikan yang layak. Bekal yang mampu mereka berikan supaya aku
dapat melanjutkan pendidikan dalam jenjang yang tinggi. Siang-malam tak kenal
lelah Bapak membanting tulang mnecari pundi-pundi recehan. Kutulusan doa Mamak
selalu menghiasi langit-langit rumah. Berharap kelak puterinya menjadi sesorang
yang berjaya. Tentunya sukses dunia akhirat. Tak hanya kesuksesan duniawi saja
yang Mamak pinta, akan tetapi kesuksesan akhiratlah yang menjadi prioritas
utama. Pesan Mamak yang senantiasa terekam di telingaku membuatku semangat,
pantang menyerah dan gigih dalam mewujudkan secuil harapan yang mereka
dambakan.
Di bawah
cahaya rembulan aku berjanji akan memberikan seluruh kebahagiaanku untuk kedua
malaikat dunia yang berhati sutra itu. Motivasi terbesar dalam hidupku hanya
bersandar pada ridho orang tuaku. Dan kini telah ku raih semua angan setelah
aku kembali dari Australia. Berbekal semangat, kerja keras dan doa orang tua,
aku mendapatkan beasiswa pendidikan di Australia. Prestasi yang terus mengalir
dari jenjang pendidikan sebelumnya mempermudahkan
langkahku
untuk meraih gelar Sarjana Psikologi di Universitas ternama di dunia. Segala
syukur aku panjatkan kepada Tuhan yang telah memberikan pelajaran hidup yang
berarti kepadaku. Hinaan, cemoohan dan cercaan yang terlontar dari mulut orang
pada si miskin ini, menjadi semangat dan motivasi dalam menjalani setiap proses
kehidupan yang ku lewati. Seruku dalam batin, “Ya, ini Zara Bapak-Mamak!!! Doa
Bapak-Mamak telah menembus ‘Arasy dan Tuhan telah menjawab atas semua harapan
dan cita-cita Bapak-Mamak”. Rumah besar berlantai dua bak istana kerajaan
menjadi tempat bernaung. Fasilitas yang komplit dan antik menghiasi setiap
sudut isi rumah. Lamborgini menemani perjalananku dalam berpergian. Kini
tinggal mensyukuri dan menikmati hasil jerih payahku selama ini. Tidak ada kata
lain selain syukur dan syukur kepada Tuhan yang Maha Merajai jagat semesta.
Kupersembahkan semua hasil pencapaianku hanya untuk Raja dan Ratu hatiku yang
telah melahirkanku ke dunia ini. Tanpa pamrih, tanpa ngeluh, dan penuh ikhlas
hidup mereka hanya untuk Zara. Walau semua ini belum mampu membalas jasa
mereka, namun selama nafas masih menetap, langkah masih terjangkau maka baktiku
akan selalu tumbuh untuk mendapat surgamu Bapak-Mamak. Tepat pada hari jadi
pernikahan Bapak dan Mamak yang ke-25, aku ajak keduanya beribadah ketanah suci
sebagai bentuk rasa syukur nikmat atas limpahan Rahmat Tuhan yang tak akan
pernah habis dan senantiasa tercurah kepada keluarga kami selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar