sumber : igi.com
Bukan
Sekedar Lilin
Oleh : Nurul Munzayanah
Sinar senja menyapu di sela-sela ranting pepohonan. Tampak langit
biru yang dihiasi awan putih tipis. Angin pun seakan tak mau mengalah, membelai
lembut butir-butir peluh di wajah Emak Siti. Rerumputan yang
bergoyang-goyang seakan ikut mendamaikan hati, melenyapkan jenuh nan penat
setelah seharian ia mengais rezeki. Tiap ayunan langkahnya mengisyaratkan
betapa beratnya beban kehidupan yang harus dipikulnya. Tetapi, bukan Emak Siti
namanya jikalau tak dapat menembus kejamnya kehidupan yang menantang. Kesabaran
yang selalu ia tanamkan, serta keyakinan akan sucinya petunjuk dari Tuhan.
Tampak dari kejauhan sebuah gubug yang berselimutkan anyaman bambu
di sudut petakan ladang. Langkah Emak mengayun mendekati gubug tempat
tinggalnya, Hiruk-pikuk saling beradu terdengar dari dalam gubug sejurus
membuat Emak Siti terhela letih. Sedari dulu memang ke tiga
putra-putrinya tak pernah akur, sekalipun akur itu pasti hanya dalam waktu
sekejap, ditambah lagi perbedaan kondisi antara mereka yang semakin memperdalam
jurang ketidakakuran.
“Assalamualaikum,” lirih Emak Siti mengucap salam
seraya menapakkan kaki kanannya ke dalam gubug. Tanpa mendapati balasan salam, Emak
langsung disamber celotehan Rani, ia adalah putri kedua Emak Siti
yang culas dan selalu besar kepala atas prestasinya.
“Mak, lihat nih kerjaan anak kesayangan mak, dia
merusak pialaku,” ketus Rani.
“Rani... kamu tahu kan kondisi mbakmu, tak seharusnya
kalian bertengkar seperti ini, apalagi kamu Rani, hormati mbakmu
bagaimanapun juga dia lebih tua darimu,” Ucap Emak mencoba menghentikan
hiruk-pikuk yang mulai mereda.
”Terus saja mak, bela mbak Ratih terus. . . mak emang
nggak pernah sayang sama Rani.”
Rani kemudian berlalu meninggalkan Ratih dan emak Siti yang
masih terpekur di ruang depan, masing-masing menghela napasnya. Suasana
layaknya pertengkaran antara kucing dan tikus sudah menjadi hal yang tak asing
lagi bagi emak Siti juga Ratih, anak sulungnya. Kondisi Ratih yang
teramat miris karena ia terlahir dengan kelumpuhan kedua kakinya, terang
membuat Ratih amat kesulitan untuk mencapai tempat yang ia tuju. Sering kali ia
menyenggol beberapa benda yang tak sengaja ia jangkau lalu menjatuhkannya
kemudian patah berkeping-keping. Alhasil, luapan amarah Rani pun tak dapat
terkendalikan.
“Hidupku kenapa harus hadir di tengah keluarga ini sih? Selalu
saja mereka membuatku mengamuk. Tuhan, kenapa? kengapa Engkau mengambil bapak,
lalu membiarkan kami hidup
susah. Punya emak
tapi cuman jadi tukang parkir di pasar, punya mbak tapi lumpuh nggak
bisa ngapa-ngapain selain menyusahkanku, juga punya adik tapi kenapa harus
idiot? dan selalu menggangguku. Tuhan, aku ingin hidup tenang. Aaarrrghhh...
” keluh Rani yang sedari tadi mendekam diri di kamar seraya melayangkan
beberapa bantal ke tanah.
Adzan maghrib berkumandang, mensyairkan kelembutan nada-nada
panggilan dari Tuhan. Seperti biasanya, Emak Siti dan Ratih akan
menunaikan sholat berjamaah. Sedangkan Rani, nampaknya tengah sibuk dengan
sederet buku-buku pelajaran di hadapannya. Berulang kali Emak memaksanya
untuk sholat namun Rani tetap saja enggan tuk sejenak terlepas dari
buku-bukunya. Bahkan, ketika Emak Siti semakin keras terhadapnya, ia
malah mengancam Emak, ia akan membuang Situng, mendengar ancaman Rani, Emak
Siti pun tercemaskan mengingat keadaan Situng yang jauh dari psikis yang
normal. Ia tak mungkin berkorban untuk salah satu anaknya sekaligus
mengorbankan anak yang lain. Terang Emak hanya bisa memasrahkah diri dan
bersimpuh menangis di atas sepotong sajadah, memohon petunjuk serta menengadah
seonggok hidayah untuk putrinya, Rani.
Dengan sisa tenaga yang masih tersimpan, setelah seharian
melengkingkan peluitnya di tengah lautan kendaraan, juga dengan ketulusannya, Emak
lalu menggendong Ratih menuju tempat air untuk berwudhu. Sedikitpun Emak
tak pernah merasa disusahkan oleh kehadiran Ratih, dari kecil hingga ia
sekarang dewasa ketulusan juga kasih sayang mengalir deras dari sentuhan
lembutnya. Bagi Ratih dan Emak Siti bila mereka masih dapat hidup
bersama itu sudah lebih dari cukup, entah mereka akan makan esok pagi atau
berpuasa, susah maupun senang asal tetap merajut kebersamaan. Hangatnya
kebersamaan adalah senjata ampuh yang mampu mensirnakan kesedihan. Lain halnya
dengan Rani, ambisi besarnya untuk merubah nasib dengan pendidikan telah
membutakan mata hatinya. Yang terpenting baginya kini hanyalah belajar,belajar,
dan belajar tanpa menghiraukan kewajibannya kepada Sang Pencipa.
Kicauan burung-burung berirama menjemput cerahnya pagi, embun
menari-nari elok menapak dedaudan. Hawa dinginpun mulai membelai pori-pori
Rani, yang sesaat terlihat masih hanyut dalam alam bawah sadarnya. “Embak Raaaa...
Ranni yang jahat. Ooh embak Rani...” “bangun... jahat.. jahat embak bangun..”
ucap Situng yang mencoba membangunkan Rani agak menjambak helai rambutnya.
Sontak membuat Rani terbangun dan gejolak amarahnya pun menggelegar “Eih,
apa-apaan sih ini, ngapain kamu ganggu tidurku! Keluar kamu idioott, keluar
dari kamarku. Nggak usah panggil aku mbakmu lagi. Keluar...” Brakkk!!! Sesaat
Rani yang tengah dikuasai amarah dalam dirinya, mendorong Situng yang
sebenarnya memiliki niat baik untuk membangunkannya.
Mendengar rengekan Situng yang cukup melengking, Emak yang
sedari tadi memasak di dapur akhirnya berlari menghampiri Situng. ia nampak
tersungkur di tanah. Mendapati keadaan Situng yang demikian, Emak tak
kuasa menahan diri untuk memarahi Rani. Akan tetapi percuma
saja,
sedikitpun Rani tak menghiraukan amarah Emak Siti. Ia justru membenarkan
perbuatannya dan menyalahkan Situng si idiot itu.
Pagi ini Rani bergegas menuju sekolah lebih awal dari biasanya, ia
harus mengikuti ujian mata pelajaran kimia yang diampu oleh Bu Mur, guru yang
terkenal galak di SMA tempat belajarnya. “Apapun akan aku lakukan asalkan
nilaiku menjadi nilai terbaik di kelas. Dan Bu galak itu akan luluh padaku,
lalu semua teman-temanku pasti segan dengan gadis pintar bernama Rani,” besit
Rani berambisi kuat.
Sesaat setelah Rani tiba di sekolahnya, ia pun hendak memasuki
ruang ujian. Tiba-tiba
“Kamu mau kemana?” tanya petugas TU yang datang lebih pagi dari
Rani.
“Tentu saya akan mengikuti ujian lah, bapak ini bagaimana sih.”
jawab Rani dengan percaya diri.
“Tidak bisa, kamu belum melunasi administrasi ujian.”
“Ta.. tapi pak, saya harus mengikuti ujian ini, saya mohon pak
bapak pasti bisa mengusahakannya, lagi pula saya kan anak yang pintar, masak
bapak tidak mau membantu saya,” Rayu Rani masih dengan nada sombong.
“Maaf ya Ran, saya ini memang bukan kepala sekolah, tetapi saya
punya tanggung jawab yang harus saya jaga. Sebaiknya kamu sekarang pulang saja
lalu kembali setelah kamu bisa melunasi administrasinya.” Tegas petugas TU.
Petugas itu pun berlalu meninggalkan Rani yang masih terdiam
membisu. Kembali ia teringat pada prinsipnya bahwa apapun akan ia lakukan
asalkan nilainya menjadi nilai terbaik di kelas. “Ya, aku harus melakukan
apapun demi nilai terbaik, ah, aku tahu sekarang, aku harus pergi ke pasar.”
Gumamnya dalam hati. Bergegas ia menuju pasar untuk menemui Emak Siti.
Nampak butir-butir peluh mengalir di wajah Emak, walau
masih pagi. Namun kendaraan-kendaraan telah memenuhi lapangan parkir.
“Mak, Rani minta uang sekarang juga.” Pinta Rani seraya
menengadahkan tangan kirinya.
“Astaghfirullah Rani, dimana sopan santunmu pada emakmu sendiri?
Lagi pula sekarang kan Emak sedang bekerja.”
“Sudahlah mak, katanya aku ini anak Emak, masa Emak
pelit sama anak sendiri. Lagian uangnya kan untuk melunasi administrasi
sekolah. Emak senang ya kalau Rani tidak bisa ikut ujian?”
“Bukan begitu
Rani, Emak benar-benar belum mempunyai cukup uang untuk melunasinya.
Kemarin kan uangnya sudah kamu minta untuk membeli buku.”
“Terserah Emak, Rani tahu emak masih punya tabungan
kan di rumah, Rani akan mengambilnya.” Teriak Rani kemudian sekejap berlalu
meninggalkan Emak.
“Ran... Raniiii...” cegah Emak.
Beberapa kali Rani mencari pada berbeda sudut di ruang kamar Emak.
Laci, kolong kasur, lemari kesemuanya tak terselipkan selembar uang sama
sekali. Alhasil, Rani pun hanya dapat meratapi nasib yang melilit batinnya.
Luapan amarahnya yang tengah bergejolak mendorong ia untuk melayangkan beberapa
barang yang ada di dekatnya. Pertunjukan bantal guling pun dimulai. Semua
berserakan liar di tanah. Beberapa saat ketika amarahnya mulai mereda,
terlintas di pikirannya bahwa sedari tadi tidak ada tanda-tanda sedikitpun
seseorang yang ada di rumah selain dirinya. “Ah, peduli apa aku yang memikirkan
mbak Ratih juga Situng idiot itu, sok sibuk banget sih mereka pakai
keluar rumah segala,” Tukas Rani.
Tanpa satu orang pun yang dilihatnya lalu lalang di rumah. Ia pun
merebahkan tubuhnya di kasur. Sekedar melupakan penat yang melekat pada
pikirnya sekaligus kekesalan yang melilit batinnya. Apa yang ia angankan hangus
begitu saja bagai ombak yang menyapu pasir seketika. Tak lama kemudian ia
hanyut dalam alam bawah sadarnya.
Krik...krik...krikk... bunyi jangkrik yang mengerik di tengah malam sunyi itu.
Tak ada satu pun yang berani mengganggu tidur Rani atau bahkan
sampai membangunkannya kala itu. Emak yang masih teringat dengan apa
yang diminta Rani tadi pagi membuat ia berfikir tiga kali untuk
membangunkannya. Ingin sekali Emak melihatnya terbangun lalu ia
melaksanakan sholat, dan setelah itu mereka makan bersama, tetapi semua itu
jauh dari apa yang terjadi kali ini. Hanya angan Emak yang ia lantunkan
di setiap sepertiga malamnya. “Mungkin memang hanya rasa laparlah yang akan
membangunkanmu nak,” gumam Emak Siti. Sedangkan Ratih dan Situng yang
nampaknya juga tak menginginkan adanya luapan amarah dari saudaranya itu,
membuat diantara mereka tidak mau membangunkan Rani yang telah pulas dari siang
hingga larut malam.
Desiran angin malam itu berhembus begitu kencang hingga memasuki
perut Rani yang kosong, sepoiannya yang seakan berdendang akhirnya berhasil
membangunkan Rani. Pikiran yang masih tak tentu arah juga sayup pandangannya
membuat kepalanya serasa di kelilingi burung-burung kecil berterbangan dengan
sayap-sayapnya yang memoros. Sekilas penat itu muncul di pikirannya ia pun
dengan refleks menyapu bantal dengan tangan kanannya. Lalu betapa
terperanjatnya ia sesaat setelah melihat sebuah amplop terpampang kucel persis
di bawah bantal tadi. “hah? Amplop apa ini, kok bisa ada di sini?” ujar Rani
seraya mengambilnya kemudian membolak-balikkan amplop itu. Terperanjat ia
ketika mendapati bahwa isi amplop tersebut
adalah uang,
seketika itu penatnya berganti gejolak bahagia yang terlukis jelas di wajahnya
karena ia dapat melunasi administrasi ujian dengan uang tersebut.
Melihat rona bahagia yang membalut wajah dan hati adiknya, Ratih
yang sedari tadi mengintip di balik tirai kamar Rani pun merasakan hal sama.
Dua tongkat penyangga tubuh Ratih kini mulai melangkah menjauhi kamar Rani,
namun jejak kebahagiaan Ratih masih tertinggal bahkan melekat di tirai-tirai
itu. Kemudian disusul oleh Rani yang melangkah dan segera menuju dapur.
Dengan lahapnya Rani menyantap makanan yang telah dihidangkan emak
sejak tadi, perangai layaknya orang yang sangat kelaparan pun nampak dari
gerak tangan dan mulutnya. Selesai makan, dirasa olehnya desakan sang perut
yang terlalu kenyang membuat badannya susah bergerak lalu perlahan
melelapkannya pada surga alam bawah sadarnya. “Aduhhh perutku... ahhh ngantuk,
tapi aku belum belajar buat ujian besok, ah tak apa tak usah belajar, aku kan
pintar pasti bisa ngerjain soal-soal kayak biasanya, hooamm...” gumam
Rani.
Mentari akhirnya terbangun dari tempat peristirahatannya, embun
yang melembabkan dinding gubug Emak Siti, juga riuhnya irama ayam jantan
berkokok. Rani pun dengan sigapnya bangun dan beranjak pergi ke sekolah
berselimutkan semangat akan melunasi administrasi lalu dapat mengikuti ujian
hari ini.
Suasana hening menyantap para siswa yang tengah berperang bersama
soal ujian, tampak Rani gelisah seperti tengah diselimuti kegundahan. Terpancar
jelas dari matanya yang enggan tenang, kulitnya pun terbalut keringat dingin.
Apa yang ia duga ternyata sebaliknya, semua soal yang tersaji hampir tak ada
yang bisa ia kerjakan sama sekali. Semua dirasa sulit olehnya. Tangannya seakan
mati dan tak mampu ia gerakkan sedikitpun. Hatinya menangis, mengerang-ngerang
resah. Jam dinding terus mendetakkan detiknya, waktu mengerjakan kini
sepenuhnya berlalu. Sekali lagi, Rani hanya dapat meratapi nasibnya, akan
tetapi ia mencoba tak menyesal karena tidak belajar semalam. Malahan ia
menerka-nerka bahwa tidak hanya dirinya yang amat kesulitan dalam mengerjakan
soal, tetapi juga teman-temannya. “Kalau aku tak bisa mengerjakan soal ini
pasti temen-temen juga nggak bisa, pasti itu,” terka Rani.
Tahap demi tahap ujian Rani lalui dengan kepercayaan diri dan
kesombongannya, namun malam-malam saat ujian Rani selalu saja tertidur dengan
pulasnya. Ia tak pernah sempat untuk belajar, selalu tertidur dan tertidur. Ya,
hanya itu kegiatannya di rumah pasca hari-hari ujian. Setiap ia berusaha, lalu
mencoba lagi dan lagi untuk semalam saja tidak menutup mata, namun semua itu
selalu saja tak menuai apa pun. Matanya dirasa lengket dan lengket. Alhasil,
pada saat hasil nilai ujian diumumkan, Rani terperanjat hebat, ia mendapati
nilai ujiannya dengan mulut menganga serasa tak percaya bahwa dirinya adalah
salah satu siswa yang tidak lulus ujian, dan harus mengikuti les bimbingan
khusus untuk mengulang ujian kembali. Tentu, semua proses tersebut memerlukan
biaya tambahan lagi.
“Nggak,nggak...
nggak mungkin kalau aku tidak lulus. Arrrggghh... Apa kata teman-temanku
nanti? Ini sama sekali nggak adil. Semua ini gara-gara Emak dan mbak Ratih,”
desah Rani dengan paras kesalnya.
Setiba di rumah keringat kesal bercampur gejolak amarah
menyelimuti sekujur tubuh Rani, matanya kian sayu langkah kakinya lemah
layaknya orang yang kehilangan semangat hidupnya. Pemandangan itu cukup
membangkitkan Ratih untuk mengetahui masalah apa yang tengah dihadapi adiknya.
Namun, Rani justru membentak keras dan menandaskan nada halus yang terucap dari
Ratih.
“Semua ini gara-gara mbak Ratih yang cacat, kalo saja mbak
tidak cacat mbak pasti bisa cari uang dan bisa bayarin Rani les seperti
temen-temen Rani lainnya. Nggak kayak gini, sekarang Rani tidak lulus ujian
mbak, hu..hu..hu.. mbak cacat nggak berguna,” bentak Rani seraya mendorong
badan lemah Ratih hingga ia pun tersungkur.
Tak tersadari oleh mereka bahwa sedari tadi emak telah
menahan isak tangisnya mendengar ucapan Rani dari bilik dapur, hingga pijakan
kaki Emak tak tertahankan ketika melihat Ratih tersungkur. Emak pun
menghampiri tuk mencoba mengangkat lalu memeluk erat tubuh Ratih seraya
butir-butir air keluar dari kelopak matanya. Inilah puncak rasa kekesalan hati emak
hingga gejolak yang selama ini dipendamnya dalam-dalam akhirnya dengan
ringannya keluar begitu saja dari mulutnya. Emak menjelaskan bahwa
selama ini yang membiayai sekolah dan kebutuhan tambahan Rani lainnya tidak
lain adalah mbaknya sendiri, Ratih. Bahkan amplop yang terselip di bawah
bantal Rani adalah hasil jeri payahnya. Ratih yang ternyata diam-diam bekerja
sebagai kuli pengemas keripik di sebuah pabrik dekat pasar selama ini mampu
membiayai adiknya dengan kedua tangannya dan kegigihan dirinya. Walau begitu
perjuangan Ratih tak lepas dari kesabaran emak yang menggendong Ratih
tiap ia berangkat menuju pabrik.
Hati yang dulu mati, kini mulai menampakkan tunasnya kembali dan
mengisyaratkan untuk segera menjadi hati yang hidup dan lembut. Rani terenyuh
mendengar ulasan emak, ia baru tersadarkan bahwa ia selama ini berada di
tengah surga. Surga kasih sayang dari keluarganya yang berjuang penuh dengan
keikhlasan menerima garis taqdir dan semua itu hanya untuk dirinya. Titihan air
matanya mulai menghiasi pipi lembut Rani. Kehangatan yang terindukan oleh
mereka selama ini akhirnya kembali saling terajut dengan indah.
“Mbak janji sama Rani, mbak akan bekerja lebih giat
lagi supaya kamu bisa mengikuti ujian susulan. Ya , mbak berjanji. Kamu
harus bisa jadi juaranya.” Ujar Ratih kepada adiknya.
“Maafkan Rani mbak, semua ini salah Rani. Dan Rani berjanji
mulai saat ini Rani akan membantu mbak bekerja, kita akan sama-sama
berjuang mbak. Semua demi keluarga kita, Rani sayang kalian.”
Rani
kini mulai mengerti betapa indahnya jalan hidup yang telah digariskan oleh
Tuhan. Tersadar olehnya bahwa rencana Tuhan jauh lebih indah dari rencana
manusia. Ia memang tak berada di antara `nyala api unggun yang menjulang tinggi
lalu memberi kehangatan bahkan memberi hawa panas, namun panasnya dapat
menyengat kulit seketika. Ia bersyukur ditempatkan diantara lilin yang menyala,
walau kecil namun mampu memberi kehangatan yang cukup tanpa memberi panas yang
menyengat kulit, semakin banyak lilin yang berada di dekatnya maka ia akan
semakin merasakan hangatnya sebuah lilin. Lilin-lilin itu tidak lain adalah
sebuah keluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar