Ber-Cakap dengan TUHAN
Semilir
angin kala itu seakan membisik untuk terus berlari. Dedaunan yang berguguran
berserakan ditiap-tiap jengkal langkahku bergemuruh menjadi saksi bisu, seorang
“Aku” yang hanya terdiam sedari tadi. Benar katamu, pikiranku buyar diatas
ambang suatu yang nyata dan kini hanya ku anggap ilusi semata. Aku tak mampu
menumpahkan setetespun air mata. Semua hanya tersedak dalam dada. Kini, aku
benar-benar dalam diamku. Aku hanya mampu menatap nanar setiap sinar yang
terpantul dalam keheningan yang kuciptakan. Dengan menghela napas panjang,
kuputuskan untuk pergi. Langkahku memang pergi, namun pikirku masih pada sejuta
satu petanyaan yang tak bisa kuungkap begitu saja. Dan, saat itulah “Aku”.
Malam hari
ini sangat berbeda. Tepat setelah suara surau-surau mengumandangkan iqomah, lalu
kami berjama’ah bersama disebuah surau dekat gubug rumahku. Selepas shalat,
aku, ayah, ibu dan Sahli adikku pulang kerumah bersama. Indahnya suasana malam
sungguh lengkap dibawah naungan ribuan bintang yang tiga diantara ribuan itu
turun temaniku menuju tempat singgah sementara di bumiNya. Malam ini adalah
malam minggu, aku tak perlu repot-repot untuk menyalakan lampu obor lagi saat
hendak belajar. Karena saat ini, sudah selesai tugasku untuk melaksanakan
program wajib belajar 12 tahun dari pemerintah. Berkenaan dengan nyala obor
itu, apa kau tahu? Itulah penyemangatku. Malam ini memang sungguh berbeda.
Sembari kutatap Sahli yang saat itu sedang duduk dibangku kelas VII, sedang
asyik menyaksikan siaran televisi, sesekali pandanganku menuju keluar rumah.
Kini, aku benar-benar menatap pesona indahnya jagad raya seraya mengucap
kalimatut thoyyibah. Kuangkat jemari tanganku, dan alam bawah sadarku mulai
mengembara membayangkan menaiki sebuah pesawat jet atau roket-lah hehe.. aku
berkeliling dunia dengan itu. Melihat indahnya aurora di Antartika, dan
kemudian mendarat di benua Eropa. Haha..memang berkhayal adalah hal yang paling
mengasyikkan bukan? Seakan kita bisa memiliki apa yang kita inginkan untuk
sementara meski hanya sebuah fatomargana semata. Akupun tersenyum lepas, dan
sedikit tertawa. Nampaknya, ayah melihatku tersenyum sendirian diteras rumah.
“Bintangnya
indah ya Zid!”, aku pun menoleh “ Ya yah, suatu saat nanti Zida pengen kita
bareng-bareng sekeluarga naik pesawat jet ya yah,, tapi ayah jangan mabok
hehe!”. Ayahpun ikut tertawa.” Putri ayah ini kan sekarang sudah mulai dewasa,
jadi putri ayah harus kuat ya..!”. aku pun terdiam, seakan apa yang dikatakan
ayah barusan, tak ada hubungannya dengan pernyataanku sebelumnya. Sejenak,
pikiranku buyar hingga kukernyitkan dahiku
untuk
berpikir panjang. “ Yah, lihat bintang-bintang yang jauh itu, mereka sangat
jauh namun
keindahannya
hingga menembus bumi. Yah, cahaya yang terpancar dari bintang adalah
cahayanya
sendiri bukan dari planet ataupun benda angkasa lain layaknya rembulan”. “ Zida
jadi bintang
saja untuk ayah ya nak!”, aku pun tersenyum dan kuanggukkan kepalaku.“Selain
itu, Zida
bisa belajar apalagi dari melihat angkasa?”, ayah malah balik bertanya padaku.
“banyak
yah,,” sahutku. “soal mimpi yah!, Zida benar-benar ingin jadi seorang dokter”.
“Allah Maha
Kaya kog Zid!”.” Ya yah..” jawabku mantap.
Aku terlahir
di sebuah desa kecil dekat perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Tanah
kelahiranku sungguh kaya. Ayahku berprofesi sebagai petani, namun jika
sedang
memiliki waktu luang beliau menyempatkan beralih profesi menjadi nelayan.
Mungkin
sebagian orang berkata, “Kog bisa?”. Yups, itulah uniknya. Rumahku berada
ditengah
antara laut dan pegunungan. Jadi, kalau ingin ke laut ya tinggal jalan saja
sekitar 10
menit.
Begitu juga ketika ingin melihat gunung. Gunung-gunung itu bisa dilihat dari
bibir
pantai. Dan
dengan bangga aku berkata, itulah Indonesiaku. Tak bisa kuuangkap dengan
ribuan kata
sekalipun untuk mendetilkan penggambarannya. Rumah dan sawahku
berdampingan.
Tepatnya, sawah padi itu berada dibelakang rumahku. Saat masih duduk
dibangku SMP
dulu, sepulang sekolah aku sering membantu ayah dan ibuku disawah. Mulai
dari
menyiangi padi hingga menjaganya dari burung-burung hama. Pernah suatu ketika,
orang-orangan
sawah yang ayah buat ambruk karena angin hujan yang menerjang hampir
seharian.
Lalu, aku dan Sahli bergegas ke sawah di keesokan harinya. Kau tahu apa yang
terjadi?
Sawah kami sudah tak berbentuk seperti sawah. Aku mencoba memperbaiki padipadi
yang bisa
terselamatkan. Dan, yang dilakukan Sahli-lah yang membuatku tertawa. Ia
bergegas
mengambil orang-orangan sawah itu dan mengambil bajunya. Setelah itu, memakai
baju
orang-orangan sawah lengkap dengan atribut topinya kemudian berdiri seolah
menggantikan
orang-orangan sawah tersebut. “Hahaha,, loh Sahli, kog nggak bantuin kakak
malah jadi
orang-orangan sawah?”, “Aku ini bantuin kakak lho, bantuin kakak ngusir burungburung
itu”.
Hahaha..aku hanya bisa tertawa melihat tingkah lakunya. Terkadang dan sering
Sahli selalu
lebih cerdas dariku dengan melakukan hal-hal konyol seperti itu.
Aku masih
sangat ingat, tepatnya tanggal 12 Mei pengumuman hasil seleksi beasiswa
itu
diumumkan. Aku tak punya handphone android seperti yang lainnya. Jadi, aku
hanya
menunggu
informasi dari guruku. Segala upaya dan doa telah kuusahakan. Aku hanya berdoa
semoga Allah
meridhoi. Petir itu ternyata benar-benar datang. Pikiranku yang penasaran, dan
hatiku yang
tak karuan terpaksa harus siap mendengar berita kegagalan ini. Padahal,
beasiswa
ini adalah
satu-satunya harapan yang kumiliki untuk bisa mengabdi sebagai seorang dokter.
Tatapanku kosong, aku terdiam dan peluh dinginkupun berjatuhan. Selaksa aku
ingin menjerit pada langit dan ingin kutembuskan suaraku pada langit ke-tujuh.
“Tuhan!,, apa salahku?”. Aku tertegun, kemudian mengingat kemana langkahku ‘kan
pergi untuk selanjutnya?. Ayah, maafkan Zida yang tak bisa menjadi bintang
untukmu. Aku menangis. Pupus sudah harapanku untuk belajar kejenjang
selanjutnya. Aku pulang.“Zid,, bagaimana hasilnya nak?”, tanya ibuku. Jujur,
aku tak bisa berkata. Seharian aku membisu. Aku hanya menggeleng dan memasuki
kamar. Apa tuhan tak mendengar rintihanku? Orang tuaku bukanlah orang yang
mampu secara finansial, jadi jika tanpa bantuan beasiswa itu aku tak bisa
kemana-mana lagi untuk menggapai citaku.
Malam itu,
aku bercakap dengan “Tuhan”. Aku bersyukur atas kegagalanku 4 tahun yang lalu
dan bersyukur atas aku yang sekarang. Meski saat itu aku benar-benar hancur dan
kehilangan masa depan, ayah selalu ada disampingku bahkan saat aku tak
berkehendak kemanapun dan hanya mampu terkulai lemah diatas kasur. Saat itu,
ayah membacakan satu ayat dari al qur’an. Dan berkata, “ nak sesungguhnya Allah
Tuhanmu telah bercakap pada hambaNya melalui firman-firmanNya. Bacalah Al
qur’anmu. Semua solusi dari permasalahnmu ada didalamnya asal kamu mau
bertafakkur”
“wa’asaa an
takrahu syaiian wa hu wa khoirun lakum, wa ‘asaa an tuhibbu syaian wa hu wa
syarrun lakum”
“Zid,
terkadang apa yang kamu benci adalah apa yang terbaik untukmu dariNya, dan
terkadang apa yang menurutmu itu baik justru merupakan sesuatu yang buruk
untukmu, begitulah Allah berfirman dalam surat Al baqarah ayah 216”. Ya,
begitulah kata ayahku. Aku menangis dan beristighfar menyebut asmaNya. Dalam
keheningan malam, aku mencoba terus bercakap dengan tuhanku. Aku yakin, Allah
Maha Mendengar, Maha Kaya, Maha ‘alim, dan Maha atas segalanya. Beberapa hari
setelah itu, keyakinanku dikuatkan oleh ayah untuk melanjutkan pendidikan
distrata satu. Beliau berkata, aku harus tetap bersekolah dan melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ku bulatkan tekadku dan akupun
mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri. 15 hari setelah itu, hasil seleksi
sudah bisa dilihat. Aku meminta Nuris tetanggaku untuk membuka hasilnya, dan
saat itulah aku bisa tersenyum kembali. “Wahai cita-citaku, ternyata Tuhanku
berkehendak berbeda”, batinku dalam hati.
Akupun
memasuki dunia perkuliahan saat ini. Menjadi anak rantau dari perbatasan
kemudian beranjak ke ibu kota, dengan uang saku seadanya. Selang beberapa
minggu disini, aku mendengar ada beasiswa bantuan pendidikan bagi siswa miskin
dan berprestasi (“BIDIKMISI”). Aku meminta restu dari orang tuaku dan ridho
dari tuhanku. Saat itulah pintu dunia milikNya yang maha luas ini mulai
terbuka. Aku diterima sebagai salah satu penerima beasiswa tersebut. Itulah aku
4 tahun yang lalu. Malam itu, aku bercakap dengan tuhanku dan kemudian untuk
malam-malam setelah itu. Aku benar-benar bersyukur atas kegagalanku dan itulah
kehendakNya. Berkat ridho Allah dan rasa keingin tahuanku yang tinggi akan
segala yang Ia ciptakan, kini empat tahun masa juangku telah berakhir. Aku menemukan
sebuah inovasi dibudang agroteknologi dengan melakukan sebuah penelitian
kemudian menjadikannya suatu produk pertanian. Berkat wasilah itulah, aku
berhasil melanjutkan studi di Canberra University, Australia. Aku yakin bahwa
Allah tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia . Begitulah firmanNya.
“Zid,untuk setiap kegagalan janganlah kau bersedih, habiskan kegagalanmu itu
dengan usaha, i’tikad dan tawakkal yang kuat. Hingga yang tersisa hanyalah
keberhasilan dan kesuksesan. Allah Maha atas segalanya, ingatlah itu Zid!”.
Begitulah kata ayahku, obor semangatku yang tak pernah padam.
Semarang, 21
April 2018
5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar