• Utamakan Nilai Moral



    Oleh : Ahmad Musta’id
    *Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

    Meskipun pada Senin (16/7) lalu sudah memasuki tahun ajaran baru, namun beberapa media, baik cetak maupun sosial masih ramai membicarakan kekisruhan Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB ) Tahun pelajaran 2018/2019. Hal ini tentu telah menyita banyak waktu dan perhatian besar bagi kalangan masyarakat, terutama bagi sebagian orang tua calon peserta didik yang telah rela mengeluarkan energi untuk mencari beberapa informasi mengenai profil dan syarat untuk masuk ke jenjang sekolah berikutnya. Bahkan sebagian orang tua calon peserta didik juga rela sibuk mempersiapkan berkas-berkas yang akan dipersiapkan untuk melengkapi persyaratan yang telah ditentukan.
    Selain itu, para orang tua calon peserta didik juga rela jauh-jauh datang dari rumah ke luar kota untuk mengetahui kondisi secara riil sekolah yang dimaksud. Tentunya semua orang tua calon peserta didik pasti memiliki harapan yang terbaik bagi anak-anaknya. Rata-rata para orang tua calon peserta didik ingin anaknya bisa masuk ke sekolah negeri favorit di kotanya.  Berbagai cara pun rela meraka tempuh supaya anak-anaknya bisa diterima sekolah yang ingin dituju. Bahkan tak jarang orang tua calon peserta didik secara pribadi berusaha keras melobi dengan menemui langsung pihak panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah supaya anaknya dapat diterima di sekolah yang dituju dengan membawa beberapa “tanda kasih”.
    Namun, untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun pelajaran 2019/2019 pemerintah mencoba membuat aturan terbaru dengan menerapkan sistem Zonasi.  Langkah ini  merupakan sebuah upaya pemerintah guna menghindari adanya sebuah istilah “sekolah favorit dan pinggiran”. Sistem penerimaan peserta didik pun sudah tidak lagi menggunakan rayon, tetapi menggunakan sistem zonasi. Hal ini tentu pemerintah juga memiliki tujuan supaya peserta didik yang berdomisili di dekat sekolah dapat diterima dan tidak harus bersekolah jauh-jauh. Selain sistem zonasi,  pemerintah juga berupaya memperioritaskan bagi calon peserta didik yang kurang mampu dan berada di zona satu dengan catatan mereka harus mempunyai Kartu Indonesia Pintar, Kartu Identitas Warga Miskin atau sering dikenal dengan Surat Keterangan Tidak Mampu ( SKTM ).
                Salah satu dari persyaratan yang paling menggemparkan  adalah dengan adanya pemberlakuan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Dengan diberlakukannya persyaratan SKTM, masyarakat kurang merasa terbantu, terutama bagi para orang tua calon peserta didik yang memiliki kemampuan akademis, tentu akan tersingkir. Apalagi dengan tidak adanya batasan nilai UN untuk bisa diterima di sekolah negeri, tentu hal ini akan menjadi sebuah keresahan. Memang SKTM sendiri mudah didapatkan oleh masyarakat, bahkan tak lama menunggu satu hari surat ini bisa langsung jadi.
    Kita lihat sendiri saja, animo masyarakat untuk bisa masuk ke sekolah negeri favorit memang luar biasa. Pada Penerimaan Peserta Dididik Baru (PPDB) tahun pelajaran 2018/2019, Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)  seolah-olah menjadi “jurus sakti” untuk bisa diterima di sekolah negeri favorit. Akibatnya, tak sedikit yang menyalahgunakan dengan memalsukan SKTM. Terbukti di beberapa beberapa daerah, pihak sekolah banyak yang mencoret para pendaftar yang teridentifikasi dengan menggunakan SKTM palsu. Seperti halnya yang terjadi di Purbalingga dan Pekalongan. Di Purbalingga sendiri, tercatat ada 500 lebih pendaftar di sepuluh SMA Negeri yang menggunakan SKTM. Setelah dilakukan proses verifikasi, ternyata tak sedikit SKTM yang tidak memenuhi indikator. Akhirnya pihak sekolah pun secara tegas menyatakan SKTM yang tidak sesuai indikator tidak sah. Sedangkan yang terjadi di Kota Pekalongan ada tiga calon peserta didik yang ber-SKTM di SMK Negeri 2 Pekalongan yang dicoret dari pendaftaran setelah  hasil dari proses verifikasi yang dilakukan oleh pihak sekolah dengan mendatangi kediaman yang bersangkutan, ternyata calon peserta didik tersebut dinilai tidak masuk dalam kategori pendaftar yang ber-SKTM.
    Hal ini tentu sangat disayangkan jika SKTM  hanya dijadikan sebagai kedok semata. Perlu disadari pula bahwa tak banyak mereka telah mengesampingkan nilai moral, asal keinginan mereka tercapai. Hal ini pun tak sejalan dengan pendidikan karakter. Merosotnya nilai moral ini tentu sangat berdampak dengan pendidikan karakter yang telah dicanangkan oleh  pemerintah. Hal ini tentunya  menjadi sebuah pembelajaran ke depan bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali apa yang telah terjadi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini .
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.