sumber gambar: www.al-qur'an-syaamil.com |
Allah menciptakan semua makhluq dimuka bumi
ini saling berpasang – pasangan satu sama lain, termasuk menciptakan makhluq
yang bernama manusia yakni dengan adanya laki – laki dan perempuan. Agar tetap
dalam kefitrahannya sebagaimana ia lahir pertama dimuka bumi ini dan membedakannya
dengan makhluq lain, maka dilaksanakanlah suatu akad sebagai syarat agar kedua
pasangan tersebut dapat melakukan hal – hal yang sebelumnya dilarang oleh agama.
Itulah yang dinamakan pernikahan.
Beberapa hari yang lalu, kita dikejutkan
dengan situs website n nikah sirry secara online dan lelang perawan milik
saudara Aris Wahyudi. Meski webiste nikah sirry itu baru kemarin dengan model
gaya yang baru, namun persoalan nikah sirry di Indonesia sudah bukan menjadi
rahasia umum lagi di lingkungan kita, alias sudah menjalar dan menjadi hal yang
biasa dilakukan oleh masyarakat.
Khususnya masyarakat yang tinggal di daerah
pelosok yang jauh dari pusat kota yang dari segi pemahaman umumnya menjurus
kepada agama saja. Persepsi mereka, kalau agama sudah membolehkan sesuai syarat
yang ditawarkannya, pernikahan sudah dipastikan dapat berjalan. secara sepintas,
pernikahan disini hanya bertaut kepada hukum agama, asalkan syarat dan rukun
nya dapat terpenuhi, maka hukumnya sah dan dapat dilangsungkan pernikahan.
Dari syarat dan rukun yang ada yang ditawarkan
oleh agama, tidak secara eksplisit menganjurkan ataupun mewajibkan bahwa
pernikahan haruslah dicatat. Dalam buku Hukum Perdata Islam Di Indonesia dalam
studi kritis perkembangan hukum Islam dari fiqih, Undang – undang sampai KHI
karya Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, alasan tidak dicatat dikarenakan
pada masa Rosulullah, tidak diperkenankan untuk mencatat sesuatu, khawatir
dianggap Al qur’an, padahal bukan. Akhirnya keyaqinan tidak mencatat secara
turun temurun sampai kepada generasi setelahnya dan sampai saat ini bukan
dianggap sesuatu yang penting.
Adapun pengertian nikah sendiri menurut Abu
Zahrah dalam kitabnya ah ahwal as syahsiah yaitu, akad yang menimbulkan akibat
hukum berupa halalnya melakukan bersetubuh, saling tolong menolong serta
menimbulkan hak dan kewajiban. Sedangkan menurut hukum yang berlaku di
Indonesia UU No 1/1974 tentang perkawinan, mendefinisikan , yaitu ikatan antara
lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
dilihat dari tujuan pernikahan disini yang bersifat kekal tentu bukan hanya bersifat
di akhirat saja, melainkan bahagia di Dunia.
Dalam menjamin kebahagiaan di dunia dalam
konteks pernikahan yang berada dalam garis teritorial negara, negara berperan untuk melindungi segenap
warganya dari segi bahaya yang menimpa ataupun dampak yang tidak di inginkan
dikemudian hari. Oleh karenanya, pernikahan selain sah menurut masing – masing
agamanya (tidak ada anjuran mencatat dalam agama Islam sendiri), sesuai pasal 2
ayat 1 UU No 1/1974. Juga harus dicatat menurut peraturan perundang – undangan
yang berlaku (pasal 2 ayat 2). Bagi yang beragama Islam dicatat di KUA,
sedangkan non agama Islam dicatat di kantor pencatatan sipil.
Dengan
dicatatnya pernikahan, maka akan memberi payung hukum terhadap warganya. Kalau
pernikahan tidak dicatat menurut hukum yang berlaku, maka akan berdampak yang
sangat besar terhadap pihak yang bersangkutan, semitsal jika terjadi kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), maka pengaduannya sangat lemah, karena tidak
memiliki bukti yang kuat yang tidak jelas statusnya dengan tidak adanya akta
nikah. Sehingga mendatangkan kerugian disalah satu pihak.
Belum
lagi masalah sengketa perwarisan, maka gugatannya sangat lemah dan bahkan
ditolak oleh pengadilan, karena masalah pernikahan yang lingkupnya hukum
perdata yang mengedepankan alat bukti formil.tentu ini melibatkan akta nikah
yang begitu urgent. Tidak menutup kemungkinan juga, dengan tidak
mencatatkannya pernikahan ke pejabat berwenang, maka akan membuka peluang bagi
lelaki yang berkeinginan beristri lebih dari seoarang /poligami.
Padahal dinegara Indonesia, untuk
melangsungkan pologami, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, salah satunya
harus ada izin dari istri. Tentu akan dirugikan bagi Istri nya yang secara
status sah menurut agama, tetapi tidak mempunyai payung hukum dari negara
karena tidak dicatatkannya, sehingga ketika ada problem dikemudian hari,
terjadi kesulitan jika masalah tersebut sampai pada meja hijau, dan bisa saja
ditolak dengan tidak memberi perlindungan terhadap warganya yang menyimpang
dari hal yang semestinya dilakukan. Dari sekian dampak yang ada disini, masih banyak dampak – dampak yang lain yang
akan timbul jika pernikahan tidaklah dicatat. inilah yang dinamakan Nikah sirry
dalam konteks Indonesia.
Menurut sebagian pakar tidak mempermasalahkan
masalah dicatat tidaknya pernikahan, tidak sama sekali mempengaruhi sah tidak
nya pernikahan. Sebab, pencatatan hanya upaya tata tertib administratif.
Berbeda dengan guru besar hukum Islam Uin Walisongo Semarang Ahmad Rofiq
berkomentar, jika pencatatan hanya
sebagai syarat Administratif sangat tidak menguntungkan upaya sosialisasi UUP(undang
– undang perkawinan). Padahal metodologis yang ditawarkan ulama yaitu demi
kemaslahan umat. Dengan adanya pencatatan, maka akan menghindari kemudharatan
seperti ketidakjelasan status bagi wanita dan anak.
Ada beberapa faktor menurut penulis tentang
pernikahan tidaklah dicatat atau nikah sirry itu dilakukan. Pertama, karena
ketidaktahuan masyarakat, khususnya masayarakat yang ditinggal dipedesaan
terhadap hukum normatif yang menegaskan bahwa pernikahan haruslah dicatat dalam
konteks kenegaraan, kedua, anggapan masyarakat kalau pernikahan mesti
dicatat, akan berproses yang panjang dengan memakan waktu yang lama alias ruwet
ditambah harus mengeluarkan biaya, ketiga, karena secara kesengajaan,
biasanya yang ketiga ini, dilakukan oleh lelaki yang ber keinginan menikah
lebih dari satu, karena kalau dicatat, akan melalui syarat – syarat yang cukup
berat yang di anjurkan dalam Undang – undang.
Dari beberapa faktor diatas, merubahnya selain
harus mengedepankan kesadaran masing masing Individu bahwa yang penting bukan
hanya persoalan nikah, tetapi bagaimana nikah tersebut seharusnya dicatat,
kemudian memberikan kesadaran dan pengetahuan dari aparatur negara kepada
masyarakat melalui sosialisasi hukum yang berlaku yang menganjurkan bahwa
pernikahan haruslah dicatat. Atau kalau tidak, khusus masyarakat yang tinggal
di pedalaman melalui kyai kampung yang cukup memberi pengaruh kepada
masyarakat, untuk memberikan pemahaman yang baru kepada mereka, mengingat
pentingnya dicatatkannya pernikahan.
dengan
dicatatkannya pernikahan untuk sedia payung sebelum hujan, dapat memberikan
perlindungan bagi semua pihak agar tidak ada yang dirugikan salah satu diantara
yang lain diwaktu yang akan datang, juga akan mencapai tujuan dari pernikahan
yang mendatangkan kebahagiaan dan kemaslahtan dalam menjalani bahtera rumah
tangga. Baik bahagia di Akhirat maupun di Dunia.
oleh : Inunk Ainul Yaqin (Mahasiswa Bidikmisi 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar